PEKANBARU (HALOBISNIS) - Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menyita sejumlah lahan dan permukiman warga yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Warga yang berada di kawasan tersebut juga akan direlokasi.
Menanggapi itu, Anggota DPRD dari Fraksi Gerindra Edi Basri mengatakan, keputusan Satgas PKH itu tidak bisa ditawar lagi karena merupakan bagian dari penegakkan hukum. Kawasan hutan lindung harus dikembalikan fungsinya dan tidak bisa diubah menjadi kawasan permukiman dan perkebunan.
Untuk merelokasi ribuan masyarakat yang berada di kawasan TNTN, membutuhkan dana yang besar. Akan tetapi penertiban ini harus dilakukan karena itu adalah kawasan hutan.
Ia menegaskan, tidak ada alasan dana besar untuk melakukan relokasi. Menurutnya, untuk penegakkan hukum harus bisa dilakukan.
Untuk itu, Edi meminta korporasi yang mencuri dan menadah kayu ilegal dari TNTN segera mengaku salah dan minta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit berapa kerugian negara.
"Suruh koperasi itu bayar. Perlakukan seperti PT Wilmar Group yang mengaku salah dan mereka bayar, sama dengan ini, mereka bersalah ya mereka bayar, kita ingin biaya relokasi ini dari mereka yang selama ini dapat keuntungan dari perambahan TNTN," ungkapnya.
Ia berharap, penanganan yang dilakukan oleh Satgas PKH harus tuntas dan mengusut siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan TNTN ini.
Menurutnya, harus ada yang bertanggungjawab atas kerusakan TNTN tersebut. Kemudian jika ada pembiaran dari Balai TNTN atau Dinas Kehutanan maka perlu ditindak.
"Pertama, siapa yang bertanggungjawab terhadap kerusakan TNTN. Lalu ada pembiaran atau tidak, jika ada, ia ikut bertanggungjawab seperti Balai TNTN, tak mungkin dia tak tahu sudah puluhan ribu kawasan TNTN yang dirambah. Yang kedua adalah dinas kehutanan, pasti tahu mereka soal perambahan dan siapa penadah kayu dari TNTN. Jadi jangan yang sekarang saja ditindak, usut sumber awalnya biar semua fair," ungkapnya.
Ia menilai, masyarakat yang bermukim di TNTN bisa saja terjebak karena hutan sudah jadi belukar lalu mereka masuk. Tentu yang menyulap hutan jadi belukar itu yang diusut.
"Ini merupakan rangkaian kerja sama dalam kejahatan lingkungan, saya rasa Satgas PKH tidak sembarangan menangani kasus ini, pasti akan sampai ke sana," sebutnya.
Ketua Komisi III DPRD Riau itu mendukung langkah-langka Satgas PKH agar diungkap secara tuntas.
"Jangan ada orang-orang yang berlindung di balik kejahatan selama ini bahkan yang diuntungkan, sementara yang jadi korban adalah masyarakat yang ada di sana. Kalau kita ingin ada keadilan usut yang selama ini mendapat keuntungan dari hancurnya TNTN termasuk kemungkinan adanya koperasi," jelasnya.
Di sisi lain ia menilai, ada hal krusial yang belum dipenuhi dan dijalankan oleh Satgas PKH, yakni aspek transparansi dan akuntabilitas. Untuk itu dia meminta Satgas agar transparan dari semua aspek dan konfrehensif.
"Buka benar-benar kepada publik, dari puluhan ribu hektar itu, dirinci dipilah, dipublis secara terbuka. Jumlah, lokasi detail, siapa pemiliknya, berapa luas yang dikuasai secara haram itu. Nama perusahaan, nama pemilik, pemodal, pesuruh lapangan termasuk aspek pembiaran bertahun-tahun," ungkapnya.
Dia mencontohkan Duta Palma dari aspek pembiaran bertahun-tahun. "Kalau tidak ada yang beking tidak akan ada yang berani. Yang beking kalau tidak ada duitnya mana mau beking-beking saja, usut tuntas kasus ini secara transparan," pungkasnya.