Fakta Baru Kasus Tol Pekanbaru–Rengat: Trase Berubah Beberapa Kali hingga Warga Jadi Korban

Fakta Baru Kasus Tol Pekanbaru–Rengat: Trase Berubah Beberapa Kali hingga Warga Jadi Korban

PEKANBARU (HALOBISNIS) - Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru mengungkap fakta baru dalam proyek pembangunan Jalan Tol Pekanbaru–Rengat. Pada proses perencanaannya, trase jalan tol tersebut diketahui telah mengalami perubahan hingga beberapa kali sebelum akhirnya ditetapkan mengenai lahan milik masyarakat.

Berdasarkan temuan DPRD, trase awal proyek tol tersebut sempat melintas di kawasan salah satu institut pendidikan. Selanjutnya, jalur tersebut kembali melintas ke area fasilitas pengisian bahan bakar minyak. Kemudian pada perubahan terakhir menetapkan jalur tol masuk ke kawasan permukiman dan lahan warga.

Menanggapi itu, Anggota Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru, Zulkardi, menilai perubahan trase yang berulang ini menjadi penyebab utama warga terdampak tidak memperoleh ganti rugi secara layak.

Menurutnya, pada perencanaan awal, jalur tol sama sekali tidak menyentuh lahan milik masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu dan adanya keberatan dari pihak tertentu, termasuk lembaga pendidikan keagamaan, trase proyek terus mengalami pergeseran hingga akhirnya berdampak langsung pada warga.

“Awalnya trase itu tidak mengenai masyarakat. Namun karena ada pihak yang keberatan, termasuk pesantren, trase kemudian dialihkan dan justru mengenai warga. Ini yang harus dijelaskan secara terang,” ujar Zulkardi, Selasa (23/12/2025).

Ia mengungkapkan bahwa DPRD belum menerima penjelasan resmi berikut dokumen teknis yang menjadi dasar perubahan jalur tersebut.

“Kami minta data lengkap dari Dinas PUPR dan pihak Kementerian PUPR. Apa dasar trase bisa berubah-ubah. Ini berdampak besar karena setiap perubahan berimplikasi pada warga yang terdampak,” tegasnya.

Selain persoalan trase, Politisi PDIP ini juga menyoroti tidak dibayarkannya ganti rugi kepada sejumlah warga dengan alasan status lahan sebagai Barang Milik Negara (BMN), yang merujuk pada Surat Keputusan Gubernur serta regulasi dari Kementerian Keuangan dan ATR/BPN. Menurutnya, alasan tersebut perlu diuji secara hukum dan administratif.

“SK Gubernur itu bersifat administratif, bukan penentu hak kepemilikan. Tidak serta-merta menghapus hak warga yang sudah puluhan tahun menguasai lahan secara fisik,” katanya.

Ia menambahkan, sejumlah warga bahkan telah menempati lahan tersebut hingga lintas generasi dan memiliki dokumen penguasaan. Selain itu, terdapat preseden ganti rugi pada proyek pelebaran jalan di lokasi yang sama pada 2013, yang menurutnya membantah klaim bahwa negara tidak bisa membayar ganti rugi di kawasan tersebut.

“Kalau dulu bisa diganti rugi, kenapa sekarang tidak. Ini yang harus dibuka secara jujur,” cakapnya.

Hal tersebut mengacu kepada kasus sengketa yang dialami oleh salah satu masyarakat di areal tersebut, Linda Wati. Dimana pada saat itu Linda mendapatkan ganti rugi terhadap pelebaran Jalan Yos Sudarso pada tahun 2013 yang melewati 22 meter total tanah miliknya. Pada saat itu, Linda mendapatkan ganti rugi.

Berita Lainnya

Index