Fenomena Pengemis Pekanbaru

Bisnis Belas Kasihan Bernilai Rp18 Juta per Bulan, Cermin Empati Tinggi dan Lemahnya Pengawasan Pemko

Bisnis Belas Kasihan Bernilai Rp18 Juta per Bulan, Cermin Empati Tinggi dan Lemahnya Pengawasan Pemko

PEKANBARU (HALOBISNIS) - Fenomena pengemis di Kota Pekanbaru yang disebut bisa meraup untung sampai Rp18 juta per bulan menjadi sorotan serius dari banyak pihak.

Pengamat Ekonomi Universitas Riau, Dahlan Tampubolon, menilai bahwa praktik mengemis di kota bertuah ini telah bergeser dari masalah sosial menjadi model bisnis informal yang sangat menggiurkan.

"Angka Rp18 juta itu didapat dari simulasi Pemko Pekanbaru yang menghitung rata-rata sumbangan kecil, misalnya Rp2.000, yang diterima di setiap siklus lampu merah. Kalikan saja dengan jam kerja mereka di setiap lokasi strategis," ujar Dahlan, Senin (13/10/2025).

Menurutnya, Pekanbaru sebagai kota kaya dengan perputaran uang yang cepat dan arus lalu lintas yang padat menjadi lahan subur bagi aktivitas pengemis.

"Titik-titik traffic light utama, rumah ibadah, dan pusat perbelanjaan jadi prime location mereka. Sasarannya pun jelas, pengguna jalan yang terdesak waktu dan ingin cepat-cepat memberi sedekah tanpa perlu berpikir panjang," katanya.

Tak heran, lanjut Dahlan, banyak pengemis ini sifatnya musiman atau pendatang dari luar daerah, bahkan ada yang terorganisir. Mereka rela menempuh jarak jauh karena tahu potensi "pasar" belas kasihan di Pekanbaru begitu besar.

"Ini membuktikan bahwa daya tarik kota bukan hanya pabrik atau kantor, tapi juga income instan dari aktivitas meminta-minta. Pihak berwajib juga sering mendapati orang ni menggunakan modus eksploitasi, seperti bawa anak kecil atau berpura-pura cacat, yang jelas melanggar etika dan hukum,” tambahnya.

Dengan penghasilan yang melampaui UMK Pekanbaru, mentalitas mereka berubah. Kenapa harus kerja formal banting tulang kalo duit mudah di jalanan lebih banyak?. Inilah ironi terbesarnya,” tambahnya lagi.

Ia juga menilai, faktor yang paling dominan di Pekanbaru adalah tingginya empati dan kedermawanan masyarakat, serta lemahnya pengawasan dari Pemko Pekanbaru.

“Supply (pengemis) hanya akan ada kalo ada demand (pemberi sedekah). Masyarakat Pekanbaru yang agamis dan dermawan menganggap memberi di jalan adalah amal, dan ini menjadi bahan bakar utama bisnis gepeng,” tegasnya.

Dahlan mengungkapkan peran pemerintah kota dalam hal ini Dinas Sosial (Dinsos) dan Satpol PP belum tegas menegakkan peraturan daerah (Perda). Menurutnya, meskipun sudah ada Perda yang melarang memberi sedekah di jalan, dengan ancaman denda bagi pemberi, namun penegakannya masih sangat lemah.

“Mereka terkesan hanya melakukan penertiban rutin saja, bukan penegakan hukum yang menimbulkan efek jera, baik bagi pengemis maupun pemberi. Maka, perbandingannya begini, empati masyarakat (motivator utama) ditambah lemahnya penegakan hukum (enabler) sama dengan bisnis mengemis yang sukses,” jelasnya.

Menurutnya, apabila masyarakat kompak berhenti memberi uang di jalanan, maka model bisnis pengemis yang bisa menghasilkan Rp18 juta per bulan itu akan runtuh dengan sendirinya.

“Jadi, faktor empati dan spiritual masyarakat adalah akar masalah yang mendatangkan gepeng, sementara lemahnya pengawasan Pemko adalah kondisi yang memungkinkan bisnis haram ini tetap langgeng. Sanksi denda Rp50 juta yang ada di Perda itu harusnya gak main-main,” cakapnya.

Ia juga menegaskan dampak ekonomi dan sosial dari menjamurnya gepeng di Pekanbaru sangat negatif. Secara ekonomi, aktivitas mengemis ini menciptakan ekonomi informal yang tidak produktif dan tidak dikenai pajak.

“Uang yang beredar di tangan gepeng tersebut seharusnya bisa disalurkan ke sektor ekonomi formal, atau dikelola lembaga resmi seperti Baznas untuk pemberdayaan masyarakat yang benar-benar miskin dan terdata,” ungkapnya.

Sementara dari sisi sosial, sambung Dahlan, menjamurnya gepeng juga merusak image Pekanbaru sebagai Kota Bertuah dan metropolis yang tertib. Keberadaan gepeng menimbulkan kesan kota ini gagal mengurus kemiskinan dan ketertiban.

“Fenomena eksploitasi anak oleh sindikat gepeng juga mengancam status Pekanbaru sebagai Kota Layak Anak dan meningkatkan potensi kerawanan sosial. Aktivitas ekonomi masyarakat juga terganggu. Selain merusak estetika, keberadaan gepeng, terutama yang agresif di lampu merah, menciptakan ketidaknyamanan, bahkan intimidasi bagi pengendara dan pejalan kaki,” imbuhnya.

“Ini secara gak langsung menurunkan kualitas hidup warga kota yang bayar pajak untuk menikmati ketertiban. Singkatnya, gepeng yang meraup untung besar di jalanan adalah parodi kemiskinan yang merugikan. Mereka memanipulasi belas kasihan, sementara dana yang mereka kumpulkan seharusnya bisa digunakan untuk membantu orang miskin betul-betul supaya bisa menjadi produktif dan keluar dari kemiskinan,” tutupnya.

Berita Lainnya

Index