PEKANBARU (HALOBISNIS) – Pusat Mediasi Resolusi Konflik (PMRK) Riau resmi dilantik di The Premiere Hotel Pekanbaru, Sabtu (27/9/2025).
Acara ini dirangkaikan dengan Seminar Nasional bertema “Sinergitas Aparat Penegak Hukum dan Profesi Kesehatan dalam Penyelesaian Sengketa Pelayanan Kesehatan Berdasarkan Restorative Justice”.
Ketua Panitia, Dewi Hayati Prabu, menyebutkan bahwa tema ini diangkat karena semakin kompleksnya kasus sengketa kesehatan di tengah meningkatnya pemahaman masyarakat akan hak pasien.
“Seminar ini kami harapkan bisa membahas persoalan lebih mendalam sekaligus memberikan rekomendasi kebijakan bagi sistem hukum nasional Indonesia,” ujarnya.
Seminar yang berlangsung secara hybrid ini diikuti 350 peserta secara online dan 300 peserta secara langsung. Terdapat enam narasumber dari berbagai bidang yang dihadirkan untuk memberikan pandangan terkait penyelesaian sengketa medis berbasis restorative justice.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H. yang membahas pembentukan lembaga mediasi kesehatan.
Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, SH, M.Hum, Plt. Waka Kajagung RI, yang menjelaskan implementasi peraturan kejaksaan tentang penghentian penuntutan berbasis restorative justice.
Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. membahas harmonisasi UU Kesehatan dengan KUHP Nasional.
Dr. Hj. Diah Sulastri Dewi, S.H., M.H., Ketua Pengadilan Tinggi Riau, yang memaparkan implementasi Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang perkara pidana berbasis keadilan restoratif.
Dr. Sundoyo, SH, MKM, MHum, Ketua Majelis Disiplin Profesi, yang mengulas peran rekomendasi majelis dalam penyelesaian sengketa medis.
Brigjen Pol Dr. dr. I Gusti Gede Maha Andika Jaya, yang memaparkan sinkronisasi peraturan kepolisian dengan UU Kesehatan dalam kasus pelayanan medis.
Ketua PMRK Riau, Dr. Juliana Susanti, SAMH, CCMC, CCD, menjelaskan bahwa lembaganya berafiliasi dengan Jimly Law and School Government. PMRK Riau berperan sebagai mediator dan konsiliator, khususnya dalam penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan.
“Ke depan kami ingin sinergi nyata antara kepolisian, kejaksaan, hakim, dan profesi kesehatan, agar penyelesaian sengketa tidak semata-mata harus melalui pengadilan. Yang utama adalah pemulihan hubungan antara pasien dan tenaga kesehatan,” jelas Juliana.
PMRK Riau sendiri dilantik dengan 29 pengurus, terdiri dari dewan etik, bidang kerjasama, hukum, humas, serta pendidikan dan pelatihan. Juliana berharap kehadiran mediator dari berbagai profesi kesehatan bisa menjadi penyejuk bagi pasien maupun masyarakat.
“Prinsipnya win-win solution, bukan menang atau kalah. Yang lebih penting adalah menjaga mutu pelayanan kesehatan dan memulihkan hubungan pasien dengan tenaga medis,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Juliana juga menegaskan bahwa PMRK Riau akan mendorong lahirnya Undang-Undang Profesi Kesehatan. Menurutnya, regulasi khusus ini penting untuk melindungi tidak hanya tenaga kesehatan, tetapi juga masyarakat.
“Selain itu, kami juga menginisiasi pembentukan Lembaga Mediasi Kesehatan, yang berisi mediator lintas profesi untuk mendukung penyelesaian sengketa dengan cara yang lebih adil dan aman,” katanya.
Dengan pelantikan PMRK Riau dan seminar nasional ini, diharapkan ke depan ada jalur penyelesaian sengketa kesehatan yang lebih manusiawi, adil, dan berfokus pada pemulihan hubungan.
“Semoga keberadaan PMRK bermanfaat, baik untuk tenaga medis maupun masyarakat luas,” tutup Juliana.
Ketua IDI Riau, Marhan Efendi, menyoroti tingginya kasus sengketa medis di daerah. “Hampir setiap hari kami menerima keluhan. Tenaga medis kini berada dalam tekanan besar. Karena itu, jalur mediasi harus menjadi solusi agar tidak menimbulkan defensive medicine,” ungkapnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., menekankan pentingnya pemahaman tentang risiko medis yang melekat dalam setiap tindakan medis.
“Tidak semua kegagalan pengobatan adalah malpraktik. Selama tenaga kesehatan sudah menjalankan standar profesi, maka hal itu masuk dalam risiko medis. Itulah yang harus disinergikan antara aparat penegak hukum dan majelis disiplin profesi,” tegasnya.
Jimly juga mengingatkan bahwa jika tenaga medis terus dihantui bayang-bayang tuntutan hukum, akan muncul praktik defensive medicine yang justru merugikan pasien karena biaya kesehatan meningkat.