PEKANBARU - Proses "membumikan Al-Qur’an" yang termuat dalam karya monumental Prof Dr Quraish Shihab, salah satu pakar tafsir Indonesia era kontemporer, telah dimulai sejak wahyu pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW. Dalam buku Membumikan Al-Qur'an, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al-Qur'an tidak hanya menjadi teks langit yang sakral, juga telah menjadi pedoman praktis yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia sejak masa kenabian.
Pertanyaan tentang kapan Al-Qur'an mulai dibumikan telah terjawab. Pembumian Al-Qur'an dimulai sejak detik pertama wahyu diterima oleh Rasulullah SAW. Beliau tidak hanya menjadi penerima wahyu, juga sebagai aktor utama yang mengaktualisasikan nilai-nilai Al-Qur'an dalam kehidupan nyata, baik melalui pengajaran kepada keluarga, sahabat, maupun masyarakat luas. Rasulullah SAW adalah figur sentral yang pertama kali membumikan Al-Qur'an dan proses ini terus berlanjut melalui generasi sahabat, khulafaurasyidin, hingga para ulama dan dai pada era kontemporer.
Oleh karena itu, siapa pun yang melanjutkan misi pembumian Al-Qur'an pada masa kini sesungguhnya sedang memikul amanah mulia sebagai penerus estafet risalah Nabi SAW. Mereka adalah para penjaga warisan ilahia yang berperan sebagai kerpanjangan tangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan dan mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur'an dalam konteks kekinian. Tidak heran jika Rasulullah SAW menyebut mereka sebagai sebaik-baik manusia karena mereka mengemban tugas yang sangat mulia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya (mendakwahkannya).”
Dengan demikian, membumikan Al-Qur'an bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan sebuah tanggung jawab spiritual dan sosial yang menghubungkan manusia dengan pesan-pesan langit, sekaligus mengikatnya dengan pengamalan di bumi.
Momentum Ramadan merupakan kesempatan strategis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari melalui serangkaian proses interaksi yang holistik, mulai dari tilawah (membaca), tadabur (merenungkan makna), tafakur (memahami esensi), hingga tathbiq (mengamalkan).
Sebagai seorang muslim yang ideal, interaksi dengan Al-Qur’an sejatinya bukan sekadar aktivitas ritual, melainkan sebuah dialog transendental, yakni Al-Qur’an "berbicara" kepada pembacanya melalui pesan-pesan ilahiah yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, penting untuk mendekati Al-Qur’an dengan penuh kekhusyukan, kesungguhan, dan ketulusan, sehingga tercipta hubungan yang intim dan harmonis antara manusia dengan kitab suci nan agung ini. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya menjadi pedoman teoretis, juga sahabat sejati yang senantiasa membimbing umat Islam menapaki jalan kehidupan yang penuh makna.
Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dan abadi dalam Islam merupakan cahaya ilahiah yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril--sang pemimpin para malaikat--kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, para sahabat Rasulullah SAW menunjukkan antusiasme yang luar biasa dalam menerima, menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Semangat dan kesungguhan mereka dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an seharusnya menjadi cermin bagi umat Islam pada akhir zaman untuk meneladani ketekunan dan kecintaan terhadap kitab suci ini.
Al-Qur’an adalah cahaya (nur) yang menerangi jalan kehidupan manusia. Tujuannya menjadi petunjuk (hudan) bagi umat manusia, mengeluarkan mereka dari kegelapan, kebodohan, dan kesesatan, menuju cahaya ilmu dan hidayah, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim).
Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang dapat menemukan jalan kebenaran jika ia tidak mampu membaca atau memahami petunjuk yang terkandung di dalamnya? Tanpa Al-Qur’an, hidup akan terasa gelap dan tanpa arah, bagai berjalan di tengah kegelapan tanpa petunjuk arah. Manusia akan tersesat, serta tidak mampu membedakan jalan yang mengarah kepada kebenaran (hak) dan jalan yang menuju keburukan (batil). Oleh karena itu, hidup tanpa Al-Qur’an adalah sebuah kerugian yang sangat nyata.
Allah Swt berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 185:
شَهۡرُ رَمَضَانَ الَّذِىۡٓ اُنۡزِلَ فِيۡهِ الۡقُرۡاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الۡهُدٰى وَالۡفُرۡقَانِۚ فَمَنۡ شَهِدَ مِنۡكُمُ الشَّهۡرَ فَلۡيَـصُمۡهُ ؕ وَمَنۡ کَانَ مَرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَؕ يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ وَلِتُکۡمِلُوا الۡعِدَّةَ وَلِتُکَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰٮكُمۡ وَلَعَلَّکُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ ١٨٥
Artinya: Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu mendapati bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.
Dalam Mafātīḥ al-Ghayb, al-Rāzī menguraikan makna kata hudan dalam Al-Qur'an dengan beberapa dimensi makna (wujūh). Pertama, Allah Swt menetapkan Al-Qur'an beserta seluruh ayat-ayatnya merupakan sumber petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (hudan lil-muttaqīn). Mereka yang memiliki kesiapan spiritual dan hati yang jernih akan menemukan dalam Al-Qur'an cahaya yang membimbing langkah-langkah mereka menuju kebenaran.
Kedua, selain menjadi pedoman khusus bagi mutakin, Al-Qur'an juga berfungsi sebagai petunjuk universal bagi seluruh umat manusia (hudan lin-nās). Dalam perspektif ini, wahyu ilahi tidak terbatas pada kelompok tertentu, tetapi memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru kehidupan manusia, layaknya matahari yang menyinari tanpa diskriminasi. Al-Qur'an sebagai manifestasi hidayah hadir untuk mengarahkan seluruh manusia menuju kebijaksanaan, keadilan, dan kebenaran.
Keyakinan ini semakin kuat ketika umat muslim menyadari bahwa segala sesuatu yang terkait dengan Al-Qur’an selalu memiliki keutamaan tertinggi. Malaikat Jibril, sebagai penyampai wahyu, adalah pemimpin para malaikat (sayyid al-mala’ikah). Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu adalah pemimpin para nabi dan rasul (imam al-anbiya’ wa al-mursalin).
Malam diturunkannya Al-Qur’an, yaitu Lailatulqadar, adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Ramadan sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an adalah bulan yang paling mulia di antara bulan-bulan yang lain.
Tidak kalah penting, orang yang mempelajari, membaca, memahami, mengajarkan, serta mengamalkan Al-Qur’an adalah manusia terbaik sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Dengan demikian, Al-Qur’an bukan sekadar teks suci, melainkan sumber kemuliaan yang mengangkat derajat siapa pun yang berinteraksi dengannya secara sungguh-sungguh.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip satu ayat suci dan satu hadis yang dijadikan pengantar oleh Prof Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an. Kedua teks ini menjadi pengingat yang mendalam tentang pentingnya mengambil peran aktif dalam upaya membumikan Al-Qur’an.
Firman Allah Swt dalam QS Al-A’raf ayat 146:
سَاَصۡرِفُ عَنۡ اٰيٰتِىَ الَّذِيۡنَ يَتَكَبَّرُوۡنَ فِى الۡاَرۡضِ بِغَيۡرِ الۡحَـقِّ ؕ وَاِنۡ يَّرَوۡا كُلَّ اٰيَةٍ لَّا يُؤۡمِنُوۡا بِهَا ۚ وَاِنۡ يَّرَوۡا سَبِيۡلَ الرُّشۡدِ لَا يَتَّخِذُوۡهُ سَبِيۡلًا ۚ وَّاِنۡ يَّرَوۡا سَبِيۡلَ الۡغَىِّ يَتَّخِذُوۡهُ سَبِيۡلًا ؕ ذٰ لِكَ بِاَنَّهُمۡ كَذَّبُوۡا بِاٰيٰتِنَا وَكَانُوۡا عَنۡهَا غٰفِلِيۡنَ ١٤٦
Artinya: Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar. Kalaupun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku) mereka tetap tidak akan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya.
Prof Quraish Shihab menerjemahkan ayat ini dengan penekanan bahwa sikap sombong dan angkuh menjadi penghalang seseorang untuk meraih hidayah dan memahami ayat-ayat Allah. Ayat ini mengingatkan manusia bahwa hanya dengan kerendahan hati dan keterbukaan hati, seseorang dapat menerima dan memahami pesan-pesan ilahiah yang terkandung dalam Al-Qur’an. Sikap angkuh, sebaliknya akan menjauhkan seseorang dari cahaya kebenaran.
“Al-Qur’an adalah jamuan Tuhan,” demikian dalam sebuah hadis.
Rugilah orang yang tidak menghadiri jamuan-Nya dan lebih rugi lagi yang hadir, tetapi tidak menyantapnya.