Pekanbaru - CEO McDonald’s Chris Kempczinski mengakui bahwa gerakan boikot yang membidik restoran cepat saji McDonald’s dalam rangka mendukung rakyat Palestina di Jalur Gaza memberikan dampak besar. Dia menyebut, pasar dan jaringan waralaba McDonald’s di seluruh dunia, termasuk Timur Tengah, terimbas seruan boikot tersebut.
“Saya menyadari bahwa beberapa pasar di Timur Tengah serta beberapa pasar di luar kawasan mengalami dampak bisnis yang berarti akibat perang dan misinformasi terkait yang memengaruhi merek seperti McDonald’s,” kata Kempczinski dalam sebuah unggahan di platform LinkedIn, Kamis (4/1/2024).
“Ini mengecewakan dan tidak berdasar. Di setiap negara tempat kami beroperasi, termasuk negara-negara Muslim, McDonald’s dengan bangga diwakili oleh pemilik-operator lokal yang bekerja tanpa kenal lelah untuk melayani dan mendukung komunitas mereka sambil mempekerjakan ribuan warganya,” ujar Kempczinski.
Setelah unggahan Kempczinski beredar, waralaba McDonald’s di Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Yordania, Mesir, Oman, Arab Saudi, dan Lebanon mengeluarkan pernyataan yang menyangkal hubungan mereka dengan waralaba Israel.
“Sehubungan dengan pemberitaan bahwa McDonald’s di Israel menyumbangkan makanan. Kami menegaskan bahwa ini adalah keputusan individu mereka,” kata waralaba McDonald’s di Arab Saudi dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Al Arabiya.
“Baik McDonald’s global, kami, maupun negara lain tidak memiliki peran atau hubungan dengan keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung,” tambah waralaba McDonald’s di Saudi.
Warga Saudi, Jawaher Abdulrahman, mengungkapkan, keputusan untuk memboikot McDonald’s adalah keputusan yang mudah diambil. “Kami akan memboikot karena warga Palestina kelaparan oleh Israel dan McDonald’s mengirimkan makanan gratis (kepada tentara Israel Defense Force atau IDF). Pasar lokal bisa melakukan apa yang dilakukan Rusia ketika segala sesuatunya ditarik dari mereka. Mereka bisa mengubah citranya dan semua orang akan mendukung mereka,” ujar Abdulrahman ketika diwawancarai Al Arabiya.
Abdulrahman menyebut bahwa dia akan melanjutkan aksi boikot terhadap McDonald’s dan perusahaan-perusahaan lain yang mendukung Israel.
“Merek-merek ini secara terbuka mendukung Israel, jadi kami akan terus melakukannya kecuali mereka tiba-tiba memutuskan untuk memutuskan hubungan dengan Israel,” ucapnya.
Sementara itu, warga Kuwait, Shahed Helmy, mengatakan, pernyataan yang diunggah Chris Kempczinski menunjukkan bahwa aksi boikot memberikan efek signifikan dan menjadi motivasi untuk terus meningkatkan kesadaran tentang perang Israel di Gaza.
“Saat ini, masyarakat berada pada titik di mana mereka telah menyaksikan kekejaman yang sangat besar di Gaza dan hal ini tidak dapat dimaafkan. Mereka akan mengingat apakah Anda mendukung genosida atau tidak. Jika Anda mendukung genosida, mereka akan memastikan Anda tidak melupakannya, dan itulah tujuan saya,” ungkap Helmy.
“Satu-satunya cara untuk menyampaikan pesan kami adalah dengan menyampaikan bahasa mereka, yaitu melalui uang, dan kami memastikan bahwa mereka akan kehilangan banyak uang. Satu-satunya cara agar mereka dapat mengubah cara hidup mereka adalah jika keadaan terus memburuk. Keberadaan mereka sepenuhnya bergantung pada dukungan kita,” ujar Helmy.
Sejak pecahnya perang di Gaza pada 7 Oktober 2023, masyarakat serta aktivis pro Palestina di berbagai negara mulai menggaungkan aksi boikot perusahaan atau merek yang dipandang memiliki sikap pro-Israel. McDonald’s, KFC, dan Starbucks termasuk di antara daftar yang menjadi target boikot.
Meski awalnya diragukan bisa memberikan efek, tapi lambat laun akhirnya tampak bahwa aksi boikot secara masif berhasil memukul pendapatan dan nilai saham dari merek-merek terkait. Hingga saat ini, Israel dan Hamas masih terlibat pertempuran cukup sengit di Gaza.
Lebih dari 22 ribu warga Gaza telah terbunuh sejak Israel memulai agresinya pada 7 Oktober 2023, sementara korban luka melampaui 57 ribu orang.
Agresi Israel ke Gaza juga menyebabkan 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur. Sementara hampir 2 juta penduduk Gaza terpaksa mengungsi dan menghadapi krisis pangan, air bersih, serta obat-obatan.