PEKANBARU - Memasuki musim hujan, penyakit-penyakit menular seperti demam berdarah dengue (DBD) mengalami peningkatan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes), melalui Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) memberikan imbauan terkait hal ini.
Tim Kerja Arbovirosis Dirjen P2P Kemenkes Agus Handito mengungkapkan DBD masih menjadi masalah kesehatan yang cukup tinggi. Ini masih terus terjadi meski sudah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasinya.
"Saat ini, prevalensi dengue di Indonesia menunjukkan tantangan yang serius. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini, terutama terkait Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), kita masih melihat angka kasus yang fluktuatif setiap tahunnya," kata Agus dalam gelar wicara 'Lindungi Keluarga dari Ancaman DBD', Sabtu (9/11/2024).
Berdasarkan data Kemenkes, sampai dengan minggu ke-42 tahun 2024, terdapat 203.921 kasus dengue di 482 kabupaten/kota di 36 provinsi. Dengan 1.210 kematian di 258 kabupaten/kota di 32 provinsi.
Maka dari itu, pihaknya semakin gencar mengajak masyarakat untuk melakukan vaksinasi DBD dosis lengkap untuk mencapai nol kematian akibat demam berdarah (Zero Dengue Death) pada tahun 2030.
Saat ini, sudah ada dua jenis vaksin dengue yang telah mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Vaksin ini dapat digunakan melalui skema berbayar.
Lantas, Kapan Orang Boleh Mendapatkan Vaksin DBD?
Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2004-2024, Prof Dr dr Soedjatmiko, SpA(K), mengungkapkan saat ini anak-anak di atas 5 tahun hingga orang dewasa usia 45 tahun bisa mendapatkan vaksinasi DBD. Tak terkecuali mereka yang sudah pernah terkena penyakit DBD.
"Seperti kita tahu, virus dengue itu ada 4 macam. Jadi, kalau seorang anak atau dewasa sudah sembuh dari virus dengue tetap perlu divaksinasi. Kita nggak tau nanti terinfeksi berikutnya oleh virus tipe yang mana, karena untuk periksanya itu susah dan mahal," jelas Prof Soedjatmiko.
"Pokoknya, walaupun sudah kena dengue tetap bersihkan sarang nyamuk dan imunisasi dilakukan dua kali. Walaupun sudah sakit atau baru sembuh sakit, jaraknya sekitar 3 bulan setelahnya, kita vaksin lagi dan tetap akan dapat dua kali," sambungnya.
Meski DBD dapat menyerang semua usia, data menunjukkan hampir separuh kematian akibat DBD terjadi pada anak-anak berusia 5 hingga 14 tahun. Dengan angka kasus pada anak-anak usia sekolah sekitar 400-800 kasus. Mengapa bisa terjadi?
Menurut Prof Soedjatmiko, ada dua alasan utama. Pertama, anak-anak di usia ini belum memiliki kekebalan tubuh yang cukup untuk melawan infeksi DBD.
"Kedua, anak-anak sering terpapar gigitan nyamuk di sekolah, yang biasanya terjadi di siang hari, saat mereka bermain atau berkumpul," katanya.
Apakah Fogging Masih Efektif Atasi DBD?
Prof Soedjatmiko mengungkapkan fogging atau penyemprotan insektisida sebenarnya masih menjadi salah satu cara untuk mengendalikan populasi nyamuk penyebab DBD. Namun, cara itu memiliki keterbatasan dalam pencegahan jangka panjang.
"Sementara kalau ada kasus (DBD) memang efektif supaya jangan menularkan. Tapi, untuk mencegah jangka panjang, fogging itu tidak begitu efektif," tutur Prof Soedjatmiko.
"Fogging itu mematikan nyamuk dewasa, tapi tidak dapat membasmi larva atau jentik-jentik yang ada di dalam air. Yang efektif adalah membunuh larvanya, supaya jangan jadi nyamuk dewasa," ujarnya.
Seperti Apa Gejala DBD?
DBD merupakan penyakit yang kerap sulit dibedakan gejalanya dengan infeksi lainnya, terlebih di fase awal. Prof Soedjatmiko mengungkapkan gejala awal DBD sering kali mirip dengan penyakit tifus atau influenza.
Ciri utama yang bisa dikenali terkait DBD adalah demam tinggi, tubuh lemas, dan rasa nyeri di tubuh. Gejala ini juga dapat dialami oleh infeksi lain, sehingga harus dilakukan pemeriksaan yang di laboratorium.
"Kadang-kadang pada hari pertama hingga ketiga, dokter pun masih kesulitan membedakan DBD dengan penyakit lain. Jika hanya mengandalkan pengamatan visual saja, kadang bisa keliru," pungkasnya.