IDI Ungkap Harga Obat di Indonesia Mahal Akibat 90 Persen Pakai Bahan Baku Impor

IDI Ungkap Harga Obat di Indonesia Mahal Akibat 90 Persen Pakai Bahan Baku Impor

PEKANBARU - Presiden Joko Widodo menyoroti harga obat di Indonesia yang kian mahal, bahkan mencapai lima kali lipat dari harga obat di luar negeri. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai hal ini terjadi akibat 90% bahan baku pembuatan obat masih bergantung pada impor.

Ketua Pengurus Besar IDI Mohammad Adib Khumaidi menyampaikan, secara umum, harga jual obat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya, tergantung pada biaya bahan baku obat, biaya kemasan, biaya distribusi, biaya marketing dan promosi, hingga biaya keuntungan perusahan.

"Yang harus kita ketahui bahwa bahan baku obat yang untuk dibuat oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia lebih dari 90% bahan baku itu impor. Jadi kemampuan di dalam memproduksi obat ini kita sangat tergantung dari luar," ungkap Adib, kepada Beritasatu.com, Minggu (14/7/2024).

Adib kemudian memerinci, biaya bahan baku dalam suatu produk mencapai 20-25%, biaya kemasan mencapai 10%, dan sisanya digunakan untuk biaya marketing dan promosi, hingga keuntungannya perusahan.

"Dari beberapa komponen yang mendasari sebuah harga obat, maka biaya bahan baku dan biaya kemasan tadi tidak akan lebih dari 35% dari harga obat. Kemudian ketika kita bicara harga bahan baku dan kemasan yang hanya sekitar 35%, tetapi komponen bahan baku ini adalah impor dan kita tahu bahwa di dalam bea impor juga ada pajak yang dibebankan. Maka itu juga akan berimplikasi pada harga obat itu sendiri," jelasnya.

Selain itu, Adib juga menyoroti bahwa mahalnya harga obat di Indonesia disebabkan oleh penerapan tarif tinggi pada impor bahan farmasi yang diperlukan dalam proses produksi obat. Menurutnya, pemerintah harus menghapuskan berbagai hambatan dalam proses perdagangan obat.

Semisal, meningkatkan prosedur layanan pihak Bea Cukai untuk menghindari ketidakefisienan dalam mengimpor bahan baku obat. Kemudian, menyederhanakan prosedur ekspor dan impor yang nasib terkendala birokrasi administrasi pajak dan infrastruktur perdagangan yang dinilai rumit.

"Ini adalah hal-hal yang tentunya kemudian memberikan sebuah dampak terhadap nilai yang harus dibayarkan konsumen untuk mendapatkan obat, itu jadi jauh lebih tinggi. Ini yang kemudian kita komparasi dengan negara lain seperti yang paling dekat Malaysia," ungkap dia.

"Maka ada kebijakan yang perlu peran negara di dalam melakukan hal itu, termasuk dalam regulasi biaya kebijakan nontarif, yang kemudian bisa menekan harga obat tadi yang kemudian dibeli oleh masyarakat," pungkas Adib.

 

Berita Lainnya

Index