JAKARTA - Israel menghadapi tantangan ekonomi akibat gelombang kebangkrutan lebih dari 40.00 perusahaan. Sejak Oktober, 40.000 perusahaan tersebut lakukan penutupan usahanya.
Diperkirakan, jumlah perusahaan yang bangkrut di Israel akan meningkat menjadi 60.000 pada akhir tahun ini.
Dikutip dari Middle East Monitor, Jumat (12/7/2024), surat kabar Israel, Maariv, mengutip data dari CEO CofaceBDI, Yoel Amir, yang menyatakan: "Ini adalah angka yang sangat tinggi dan mencakup berbagai sektor."
Usaha yang bangkrut merupakan 77% usaha kecil yang paling rentan. Sektor yang paling terdampak adalah konstruksi dan industri terkait seperti keramik, AC, aluminium, dan bahan bangunan.
Sektor perdagangan, seperti fesyen, furnitur, dan peralatan rumah tangga, serta sektor jasa, seperti kafe, hiburan, dan transportasi, juga mengalami dampak yang signifikan.
Tidak hanya itu, pariwisata menjadi sektor yang sangat terdampak oleh perang, dengan hampir tidak ada wisatawan asing yang berkunjung dan suasana nasional yang semakin suram.
“Kerusakan di zona pertempuran lebih serius, namun kerugian terhadap dunia usaha terjadi di seluruh negeri, dan hampir tidak ada sektor yang terkena dampaknya,” ungkap Amir.
Menurut Amir, dampak kerusakan yang terjadi sangat besar dan meluas ke seluruh aspek perekonomian Israel.
"Pada akhirnya, ketika perusahaan-perusahaan menutup usahanya dan tidak mampu membayar utangnya, kerugian juga akan dirasakan oleh pelanggan, pemasok, dan perusahaan yang terlibat dalam sistem kerja mereka," tuturnya.
"Selain penutupan perusahaan, terjadi penurunan tajam aktivitas korporasi di berbagai sektor sejak awal perang,” Sambung Amir
Amir menekankan bahwa dalam sebuah survei baru-baru ini, sekitar 56 persen manajer perusahaan komersial di Israel melaporkan adanya penurunan signifikan dalam aktivitas bisnis mereka sejak awal perang.
“Kami memperkirakan pada akhir tahun 2024, diperkirakan sekitar 60.000 perusahaan akan tutup di Israel. Sebagai perbandingan, pada tahun 2020, tahun krisis Corona, sekitar 74.000 perusahaan tutup.” katanya.
Amir mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan di Israel sedang menghadapi tantangan besar, termasuk kekurangan tenaga kerja, penurunan penjualan, tingginya suku bunga dan biaya pembiayaan, masalah transportasi dan logistik, kekurangan bahan baku, serta ketidakmampuan mengakses lahan pertanian di zona konflik.