Bahas Peran Muhammadiyah untuk Semesta, Pimpinan Perguruan Tinggi dari Enam Negara Berkumpul di Riau

Bahas Peran Muhammadiyah untuk Semesta, Pimpinan Perguruan Tinggi dari Enam Negara Berkumpul di Riau

PEKANBARU - Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) menjadi tuan rumah acara sarasehan pimpinan perguruan tinggi dari beberapa negara di Asia Tenggara. Kegiatan Southeast Asian Scholars Forum dengan tema "Dari Muhammadiyah untuk Semesta" tersebut digelar di Pekanbaru, Ahad (23/6/2024) malam.

Hadir dalam kesempatan tersebut Dr MohdIqbal Bin Abdul Wahab dari International Islamic University Malaysia, Dr Saifuddin Amin dari Muhammadiyah Islamic College (Singapura), Assoc Prof Dr Ahmad Omar Chapakia dari Fatoni University (Thailand), HE Dr Hosen Mohamad Farid dari Cambodia University of Management and Technology (Kamboja).

Selanjutnya hadir Dr Hasna L Lidasan dari Cotabato State University (Filipina), Prof Dr Ir Gunawan Budiyanto MP IPM ASEAN.Eng dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Indonesia) dan tuan rumah Dr Saidul Amin MA yang merupakan Rektor Umri. Sarasehan ini dimoderatori oleh Dr Dwi Santoso dari Universiti Muhammadiyah Malaysia.

Hadir pula Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir yang memaparkan kondisi global saat ini dan bagaimana peran penting para cendikiawan.

Rektor Umri Saidul Amin mengatakan sarasehan pimpinan perguruan tinggi tersebut memiliki empat tujuan yakni  silaturahmi atau menyambung tali kasih persaudaraan, silatul qolbi atau menyambung hati, silatul fikri atau proses bertukar pikiran dan silatul amal. Ia berharap kegiatan ini dapat menghasilkan gagasan-gagasan dan berbagi pengalaman yang dialami akademisi perguruan tinggi lain di ASEAN terutama di negara-negara yang penduduk muslimnya tergolong minoritas seperti, Kamboja, Thailand, Singapura dan Filipina.

"Forum ini juga mengikat kesadaran agar UMRI bisa duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan universitas lain di dunia. Sengaja diminta Prof Gunawan hadir karena UMY termasuk perguruan tinggi Islam terbaik di Indonesia," tutur Saidul. 

Dalam pertemuan tersebut para peserta menyampaikan kondisi perguruan tinggi terutama perguruan tinggi Islam di negera mereka.

Seperti yang disampaikan Dr Saifuddin Amin dari Dean of Muhammadiyah Islamic College, Singapura. Pria asal Indonesia yang sudah 17 tahun berada di Singapura itu memaparkan sejarah Persatuan Muhammadiyah dan kondisi umat muslim di negara tersebut. Ia menyebut berdirinya Muhammadiyah di Singapura tidak terlepas dari peranan ulama asal Siak, Riau yang berdakwa di sana sehingga Persatuan Muhammadiyah resmi berdiri pada 25 Mei 1957.

Sama seperti halnya di Indonesia, Persatuan Muhammadiyah Singapura bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Yang menarik adalah, Saifuddin memaparkan kondisi umat muslim di Singpura meski merupakan minoritas namun mereka adalah minoritas yang bahagia.

"Selama saya berada di Singapura saya menarik kesimpulan bahwa umat Islam di Singapura adalah umat Islam yang paling bahagia meskipun mereka minoritas," jelasnya.

Ia mengatakan Singapura walaupun merupakan negara sekuler namun tetap memiliki dan mengakui madrasah untuk tempat belajar anak-anak Islam. Mereka juga punya Mahkamah Syariah, ada UU yang mengatur umat Islam bahkan memiliki Kantor Urusan Agama yang mengatur pernikahan umat Muslim. "Lebih menarik lagi, di Singapura ada satu menteri yang khusus mengurusi umat Islam. Ini luar biasa," paparnya.

Tak hanya itu, Singapura juga punya mufti yang fatwanya bagai undang undang yang wajib dituruti semua Muslim Singapura.

Muslim Singapura juga sangat toleran. Memang, kata dia, suara azan di Singapura tidak sampai keluar kecuali di Masjid Sultan. Namun, tidak hanya Islam yang diperlakukan begitu. Ibadah agama lain juga diatur hal yang sama. Saifuddin juga mengaku lebih aman menggunakan jubah di tempat umum Singapura dibanding di Indonesia.

Sedangkan Dr Mohd Iqbal bin Abdul Wahab mengungkap bahwa ulama asal Indonesia yang juga tokoh Muhammadiyah Buya Hamka sangat populer di Malaysia. Bahkan buku-buku karangan Buya Hamka menjadi bacaan mereka.

Pria keturunan asal Indragiri Hilir, Riau, yang lama tinggal di Inggris itu membandingkan ketaatan umat muslim nusantara dalam beribadah, dengan umat muslim dari negara luar. Iqbal yang lama tinggal di Inggris menilai kekuatan Islam di Nusantara sangat besar. Apalagi jika melihat komunitas Muslim yang ada di negara-negara barat. Biasanya, Muslim di ASEAN, khususnya Malaysia dan Indonesia tetap memenuhi kewajiban sebagai orang Islam meski berada di negara orang. 

Dia bercerita bagaimana saat bulan puasa di Inggris, orang Indonesia dan Malaysia biasanya tetap memenuhi kewajiban itu. Bahkan, rela menempuh tempat yang jauh atau tidak makan jika kesulitan mendapat makanan yang halal.  Sementara, sikap berbeda ditunjukkan kaum muslimin dari negara Islam lainnya seperti Pakistan, Iran, Irak dan sebagainya. 

Hal lainnya, ketika bertemu, Muslim Malaysia dan Indonesia dan negara ASEAN lainnya biasanya mencetuskan majelis taklim dan sebagainya. Tapi banyak orang-orang Muslim di ASEAN yang tak sadar kekuatannya. Inilah yang perlu digali kembali.

Sementara, Hosen Mohamad Farid dalam pemaparannya menceritakan sejarah masyarat Islam di Kamboja berlatarbelakang Melayu Champa di Vietnam. Karena peperangan, kedudukannya berpindah hingga ke wilayah Kamboja saat ini.

Menurut dia, umat Islam Kamboja mengalami dua pengalaman pahit. Pertama saat perang Champa dan kedua ketika masa Polpot berkuasa. Akibat dua peristiwa itu, banyak Muslim Champa yang mati. Tapi kini, umat Muslim di Kamboja ikut berperan untuk negara. Kamboja juga mengakui adanya Mufti yang mengurusi umat Islam di sana.

Dr Hasna dari Filipina menyorot peran Muhammadiyah yang sangat besar di Indonesia. Termasuk negara lain di regional ASEAN. 

Dia juga menceritakan tentang kondisi Bangsa Moro di Filipina yang masyarakatnya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Daerah Moro, katanya, menjadi daerah otonom yang didominasi oleh penganut Islam. 

Di Filipina, khususnya di Cotabato sangat mudah mencari makanan halal. Berbeda dengan di Manila yang masih sulit mencari makanan halal. Namun, saat ini pemerintah Filipina tengah berupaya mengembangkan makanan kuliner halal dan perbankan Islam.

Sementara itu dalam paparan penutupnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir mengapresiasi digelarnya forum tersebut karena sangat penting dalam mendorong adanya kekuatan strategis di kalangan akademisi.

Dijelaskan dia, bahwa penentu sejarah adalah kekuatan-kekuatan strategis. Baik pada level institusi, organisasi, negara maupun sekelompok orang yang punya peran strategis. 

Kaum akademisi sebenarnya termasuk dalam kekuatan elit strategis yang bisa menentukan hitam putihnya suatu bangsa, negara bahkan peradaban dunia. Kaum cendikiawan juga selalu dibicarakan perannya dalam sebuah negara. Termasuk dalam relasi kekuasaan.

Usai acara Haedar Nashir mengatakan Muhammadiyah akan terus menjalankan peran kesemestaannya, peran global, tidak hanya lewat dialog dan pemikiran akademik, tapi juga membangun pusat-pusat keunggulan yang dirintis dengan mendirikan University Muhammadiyah Malaysia, Muhammadiyah Australia College dan sebagainya.

"Point pentingnya bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern, Islam berkemajuan, ingin terus memperluas kiprahnya dari Indonesia untuk dunia. enapa kita harus mulai dari Indonesia untuk dunia? Satu, bahwa Indonesia sebagai negara besar sebenarnya itu tidak akan lepas bahkan banyak yang terpengaruhi oleh konstelasi dunia. Dan yang kedua, perkembangan dunia mengalami pergeseran dari Eropa Barat dan Amerika ke Timur jauh, di mana Tiongkok sekarang punya peran yang sangat besar di dunia," jelasnya.

Maka oleh sebab itu mau tidak mau Indonesia yang menjadi negara di posisi Asia Tenggara, tentu harus berinteraksi dan membangun orientasi strategis baru yang tidak bisa sendiri. "Kita harus beresama ASEAN. Dan ASEAN bisa menjalankan peran baru yang lebih strategis lagi. Kuncinya antar negara ASEAN harus sering berdialog, merumuskan langkah-langkah bersama untuk membangun peradaban," paparnya.

Yang ketiga, perkembangan dunia itu akan ditentukan oleh elit strategis antara lain para akademisi, ilmuwan, cendikiawan, ulama yang tentu harus juga punya peran-peran signifikan dalam kehidupan bangsa dan global. Ia menilai Indonesia sebagai negara yang punya culture keilmuan yang baik oleh umat Islam sebenarnya kita masih jauh dari itu.

Karena itu Muhammadiyah dengan perguruan tingginya akan terus mengakselerasi peran-peran dunia akademik itu di 3 level. Yakni membangun tradisi ilmu di masyarakat luas, membangun budaya akademik di lingkungan perduan tinggi, dan membangun struktur ekosistem yang mengarah pada membangun pusat -pusat keunggulan untuk keadaan bangsa.

Berita Lainnya

Index