Pekanbaru - Sepanjang tahun 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) menangani 187 Perkara Pengujian Undang-Undang (PUU). Sebanyak 168 kasus di antaranya merupakan perkara yang diregistrasi pada tahun ini, sedangkan 19 lainnya berasal dari proses penanganan perkara tahun sebelumnya.
Dari keseluruhan perkara tersebut, total 136 perkara sudah diputus oleh MK dan 51 sisanya masih dalam pemeriksaan. Sebagian besar perkara yang telah diputus itu ditolak oleh MK, yakni sebanyak 57 perkara; 41 perkara dinyatakan tidak dapat diterima; 25 perkara ditarik kembali; dan 13 perkara dikabulkan.
Bila dibandingkan dengan 2 tahun sebelumnya, jumlah perkara yang dikabulkan MK pada tahun 2023 menjadi yang paling sedikit. Pada tahun 2022, MK mengabulkan 15 perkara dari total 124 perkara yang diputus. Sementara tahun 2021, sebanyak 14 perkara dikabulkan dari 99 perkara yang diputus.
Sejumlah putusan MK pada tahun ini menyita perhatian publik karena berdampak secara langsung terhadap tata negara, yang tidak dimungkiri juga berkelindan dengan momentum tahun politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Selain itu, kontroversi etik hingga pergantian pimpinan hakim konstitusi juga mengiringi perjalanan MK pada tahun ini.
Masa jabatan pimpinan KPK jadi 5 tahun
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 UU KPK Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Permohonan tersebut teregistrasi dengan Nomor Perkara 112/PUU-XX/2022. Pada sidang pengucapan putusan, Kamis (25/5), MK mengabulkan permohonan Ghufron untuk seluruhnya. Atas putusan itu, penafsiran terhadap Pasal 29 huruf (e) dan Pasal 34 UU KPK berubah.
Pasal 29 huruf e UU KPK kini berbunyi “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”; serta Pasal 34 UU KPK menjadi “Pimpinan KPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan alasan berbeda (concurring opinion) khusus terhadap pengujian norma Pasal 29 huruf e UU KPK, sementara empat orang Hakim Konstitusi, yakni Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) khusus terhadap pengujian norma Pasal 34 UU KPK.
Aturan tempat kampanye
Tempat ibadah dilarang total untuk digunakan sebagai lokasi kampanye. Sementara itu, fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan diperbolehkan, sepanjang pelaksana, peserta, atau tim kampanye mengantongi izin dan tidak membawa atribut kampanye.
Bermula dari karyawan swasta Handrey Mantiri dan Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta Ong Yenny mengajukan permohonan uji materi terhadap penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan Handrey dan Ong teregistrasi dengan Nomor Perkara 65/PUU-XXI/2023.
Pada Selasa (15/8), MK memutuskan bahwa permohonan para pemohon dikabulkan untuk sebagian. MK menyatakan penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian, MK mengubah norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menjadi “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut
kampanye pemilu”.
Syarat usia minimal capres dan cawapres
Syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) diubah menjadi “Paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” lewat Putusan MK Nomor Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Perkara uji materi tersebut dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru Re A. Ia menggugat Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dalam petitumnya, Almas memohon frasa “Berusia paling rendah 40 tahun” pada pasal dimaksud dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai dengan “... atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”.
Pada Senin (16/10), MK memutuskan mengabulkan permohonan Almas untuk sebagian. Kendati begitu, dua Hakim Konstitusi, yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda (concurring opinion) serta empat Hakim Konstitusi lainnya, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion).
Anwar Usman dipecat dari Ketua MK
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 berlanjut ke meja etik. Putusan tersebut menjadi kontroversi di tengah masyarakat karena dinilai sarat konflik kepentingan. Berbagai laporan masyarakat bermunculan terkait putusan tersebut. Seluruh hakim konstitusi dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik.
Namun, nama Anwar Usman menjadi yang paling ramai dilaporkan. Pasalnya, ia diduga memuluskan langkah salah satu calon wakil presiden untuk mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024. Diketahui, Anwar Usman merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka yang kini menjadi calon wakil presiden nomor urut 2.
Majelis Kehormatan MK (MKMK) kemudian dibentuk untuk menangani laporan yang masuk. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie serta dua anggotanya Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih dilantik pada Selasa (24/10). Mereka kemudian menggelar sidang pemeriksaan secara terbuka kepada para pelapor dan sidang tertutup bagi hakim konstitusi yang dilaporkan.
Berselang 2 pekan, MKMK membacakan hasil putusan pada Selasa (7/11). Hasilnya, seluruh hakim konstitusi dinyatakan melanggar etik dan disanksi teguran lisan. Hakim Konstitusi Arief Hidayat dinyatakan melanggar etik karena menyampaikan hal yang merendahkan martabat MK dan disanksi teguran tertulis.
Puncaknya, Anwar Usman dinyatakan melanggar etik berat dan diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK. Ia juga tidak diperkenankan terlibat dalam pemeriksaan dan pengambilan putusan dalam perkara perselisihan hasil pemilu dan pilkada.
MKMK menyatakan Anwar Usman terbukti melanggar Prinsip Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan yang termaktub dalam Sapta Karsa Hutama.
Suhartoyo gantikan Anwar Usman
Suhartoyo terpilih menjadi Ketua MK menggantikan Anwar Usman. Ia terpilih melalui pemilihan secara musyawarah mufakat dalam rapat pleno hakim secara tertutup pada Kamis (9/11). Suhartoyo dilantik dan mengucap sumpah pada Senin (13/11). Sementara itu, Wakil Ketua MK tetap dijabat oleh Saldi Isra.
Pelantikan Suhartoyo sebagai Ketua MK periode 2023–2028 dihadiri tujuh Hakim Konstitusi, yakni Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Manahan M. P. Sitompul, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, M. Guntur Hamzah, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih, sedangkan Anwar Usman absen karena sedang dalam kondisi yang tidak sehat.
Usai dilantik, Suhartoyo mengaku siap mengingatkan para hakim konstitusi jika nantinya ada perkara yang bersentuhan dengan konflik kepentingan. Suhartoyo berjanji akan membuktikan bahwa lembaga yudikatif itu tidak sarat dengan konflik kepentingan.
MKMK permanen dibentuk
Majelis Kehormatan MK (MKMK) permanen resmi dibentuk pada Rabu (20/12). Mantan Rektor Universitas Andalas Andalas Yuliandri, tokoh masyarakat I Dewa Gede Palguna, dan hakim aktif Ridwan Mansyur didapuk menjadi anggota permanen. Ketiganya akan dilantik pada 8 Januari 2024 untuk masa jabatan 1 tahun.
MKMK permanen dibentuk sebagai upaya MK untuk menjaga etika dan perilaku hakim, utamanya terkait perkara yang berkaitan dengan politik. MKMK permanen akan menjadi lembaga pengawas bagaimana pedoman perilaku dijalankan oleh hakim konstitusi, sehingga kejadian yang menggerogoti muruah konstitusi tidak lagi terjadi.