PEKANBARU – Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2025, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Pekanbaru mengelar seminar nasional untuk mengupas tuntas peran santri dalam percaturan global, bertempat di Daaz Coffee Kota Pekanbaru, Rabu (29/10/2025) malam.
Acara ini menyoroti potensi besar kaum sarungan sebagai agen diplomasi budaya dan perdamaian di kancah internasional, mengusung tema "Diplomasi Santri dan Masa Depan Soft Power Indonesia".
Kegiatan seminar di buka langsung oleh Sekretaris PC NU Kota Pekanbaru, Agus Salim Tanjung, M Pd, dan turut hadir beberapa banom-banom NU, diantaranya, ISNU Kota Pekanbaru selaku penyelenggara acara, GP Ansor, IPNU, PMII dan PC IKA-PMII Kota Pekanbaru. Dalam sambutannya ia menyampaikan kegiatan-kegiatan semacam ini harus terus diperkuat.
"Kami selaku PC NU Pekanbaru berharap kegiatan-kegiatan semacam harus kita perkuat, sehingga banom-banom NU ini semakin solid dan semakin besar kedepannya," ujar Agus Salim.
Ia menambahkan bahwa momentum hari santri ini harus menjadi spirit bersama, dalam merawat, menyebarluaskan dan mengamalkan paham Islam Ahlussunnah Waljamaah.
Seminar ini menghadirkan dua narasumber kaliber dari berbagai latar belakang keilmuan. Prof Dr Muhammad Ansor, MA, Guru Besar UIN Suska Riau, dan Dr Setyo Utomo, MSi, dosen sekaligus dewan penasehat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU).
Kedua narasumber sepakat bahwa Indonesia memiliki modal besar dalam soft power namun belum tergarap maksimal, yakni tradisi Islam Wasathiyyah (moderat) yang hidup subur di ribuan pesantren Indonesia. Santri, sebagai produk utama ekosistem ini, dinilai sebagai duta alami yang paling kredibel untuk menyebarkan narasi Islam damai khas Indonesia.
Dalam paparannya, Prof Dr Muhammad Ansor, MA, menekankan bahwa diplomasi modern tidak lagi terbatas pada jalur formal antar-pemerintah (G-to-G). Menurutnya, peran aktor non-negara, termasuk komunitas religius, menjadi semakin vital.
"Santri memiliki keunggulan komparatif, mereka dibekali kedalaman ilmu agama (tafaqquh fiddin) sekaligus etika (akhlak) yang kuat. Jika ini dikombinasikan dengan penguasaan bahasa asing dan isu-isu global, mereka bisa menjadi diplomat ulung yang membawa citra positif Indonesia," ujar Prof Ansor.
Ia menambahkan bahwa diplomasi santri dapat mengisi ruang-ruang yang tidak bisa dijangkau oleh diplomat karir, terutama dalam dialog antar-agama dan resolusi konflik berbasis komunitas.
Pandangan tersebut diperkuat oleh Dr Setyo Utomo, MSi. Sebagai akademisi sekaligus dewan penasehat ISNU, ia menyoroti kekuatan jaringan (networking) yang dimiliki kaum santri.
"Jangan lupakan kekuatan silaturahmi dan jaringan alumni pesantren, banyak santri kita yang melanjutkan studi di Timur Tengah, Eropa, Amerika, dan Australia. Mereka ini adalah aset diplomasi, mereka hidup di tengah masyarakat global dan secara langsung mempraktikkan nilai-nilai toleransi," jelas Dr Setyo.
Ia juga menekankan agar pemerintah dapat memfasilitasi para santri untuk mengambil peran lebih besar di forum-forum internasional, membawa pengalaman unik pesantren ke panggung dunia.
Sementara ketua ISNU Kota Pekanbaru, Parluhutan, M Hum menyampaikan bahwa hari santri adalah momentum refleksi.
"Hari santri ini kan momentum refleksi untuk mentransformasi potensi santri dari kekuatan kultural domestik menjadi kekuatan diplomasi global dan kapasitas santri ini merupakan investasi untuk masa depan soft power Indonesia," ujar Parluhutan.