PEKANBARU (HALOBISNIS) - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap tiga pramusaji yang bertugas di rumah dinas Gubernur Riau. Pemeriksaan terkait perusakan segel yang dipasang di rumah tersebut.
Ketika pramusaji itu Alpin, Muhammad Syahrul dan Mega Lestari. Mereka dimintai keterangan di kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau, Senin (17/11/2025) kemarin.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, segel itu dipasang karena rumah dinas tersebut jadi salah satu tempat kejadian perkara (TKP) kasus dugaan korupsi dan pemerasan yang melibatkan Gubernur Riau nonaktif, Abdul Wahid.
Budi mengatakan tim penyidik mendalami terkait maksud ketiga pramusaji itu membuka segel KPK. "Didalami terkait adanya dugaan perusakan segel KPK di rumah dinas gubernur," kata Budi dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).
Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Riau, Muhammad Arif Setiawan, dan tenaga ahli gubernur, Dani M Nursalam.
Penetapan tersangka dilakukan pasca tim KPK melakukan operasi tangkap tangan di Pekanbaru pada Senin (3/11/2025). Diduga ada permintaan fee dari kenaikan anggaran 2035 di UPT yang ada di bawah Dinas PUPR Riau.
Terkait penyidikan kasus dugaan rasuah ini, KPK telah melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi di Riau. Antara lain, rumah dinas Gubernur Riau, Kantor Dinas PUPR-PKPP Riau.
Penggeledahan juga dilakukan di Kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Riau, Dinas Pendidikan Riau, rumah Muhammad Arif Setiawan, dan rumah Dani M Nursalam.
Dalam kegiatan penggeledahan tersebut, penyidik mengamankan serta menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) terkait dengan dugaan pergeseran anggaran di Provinsi Riau.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menjelaskan, kasus bermula dari pertemuan di salah satu kafe antara Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau, Ferry Yunanda dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP, pada Mei 2025.
Pertemuan itu untuk membahas kesanggupan pemberiaan fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid selaku Gubernur Riau. Fee sebesar 2,5 persen atas penambahan anggaran 2025.
Anggaran itu dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi 177,4 miliar. Terjadi kenaikan Rp106 miliar.
Hasil pertemuan itu dilaporkan ke Kepala Dinas PUPU PKPP, Mihammad Arif Setiawan. Oleh Aruf, fee tersebut dinaikkan menjadi 5 persen atau sebesar Rp7 miliar.
Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah “jatah preman”.
Selanjutnya, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 5% atau Rp 7 miliar.
Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode “7 batang”.
Terjadi beberapa kali setoran fee jatah kepada Abdul Wahid. Yakni pada Juni 2025. Ferry sebagai pengepul uang dari Kepala UPT, mengumpulkan total Rp1,6 miliar.
Dari jumlah itu, atas perintah Kepala Dinas PUPR PKPP, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp1 miliar kepada Abdul Wahid. Uang itu diberikan melalui Dani M Nurslaam dqn Rp600 juta kepada kerabat Muhamamd Arif Setiawan.
Pada Agustus 2025, atas perintah Dani M Nursalam melalui Muhammad Arif Setiawan, Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT, dengan uang terkumpul sejumlah Rp1,2 miliar.
Uang itu didistribusikan Muhammad Arif Setiawan untuk driver MAS sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300 juta.
Pengumpulan dana terus berlanjung hingga November 2025. Kali ini tugas pengepul dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, yang diantaranya dialirkan untuk Abdul Wahid.
Uang itu diberikan melalui Muhammad Arif Setiawan Rp450 juta serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
"Total penyerahan pada Juni hingga November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar," kata Johanis, Rabu (5/11/2025).
Uang yang diterima Abdul Wahid telah dipergunakan untuk keperluan dinas mau di luar kedinasan, seperti ke London, Inggris dan Brazil. Bahkan ia juga berencana ke Malaysia.
Dari hasil penggeledahan di rumah Abdul Wahud di Jakarta Selatan, tim mengamankan sejumlah uang dalam bentuk pecahan asing, yakni 9.000 poundsterling dan 3.000 USD atau jika dikonversi dalam rupiah senilai Rp800 juta.
"Total yang diamankan dari rangkaian kegiatan tangkap tangan ini senilai Rp1,6 miliar," kata Johanis.