PEKANBARU - Proses pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) murni tahun anggaran 2025 kini memasuki tahap penting, dengan perhatian khusus dari anggota DPRD Riau yang baru dilantik pada periode 2024-2029. Isu yang berkembang saat ini adalah potensi defisit anggaran yang mungkin terjadi pada APBD 2025, yang dipandang akan lebih besar dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya.
Kondisi ini memicu beragam pandangan, terutama mengenai dampaknya terhadap pembangunan daerah yang selama ini menjadi prioritas utama. Sejumlah pihak mempertanyakan bagaimana defisit anggaran ini akan mempengaruhi sektor-sektor vital seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, serta upaya pemerintah daerah untuk memajukan kesejahteraan masyarakat.
Sepanjang tahun anggaran 2024, Riau mengalami tiga pergantian kepemimpinan. Hingga Februari, provinsi ini dipimpin oleh Gubernur Edy Natar. Kemudian, dari 29 Februari hingga Agustus, posisi Gubernur diisi oleh Pj Gubernur SF Hariyanto. Sejak 15 Agustus 2024, Pj Gubernur Rahman Hadi memimpin Riau. Pergantian kepemimpinan ini turut mempengaruhi perencanaan dan pengelolaan anggaran daerah, termasuk dalam hal penetapan APBD 2025.
Tito Handoko: Defisit Tak Jadi Masalah Asalkan Penggunaan Tepat
Terkait potensi defisit yang mencuat dalam pembahasan APBD 2025, Dr. Tito Handoko, pengamat politik dari Universitas Riau (Unri), menilai bahwa defisit anggaran bukan masalah besar asalkan penggunaan anggaran tersebut tepat sasaran. Tito mengungkapkan bahwa selama anggaran digunakan untuk kepentingan yang jelas, seperti pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat, maka defisit tidak akan menjadi masalah yang signifikan.
"Misalnya ada defisit anggaran, tapi kalau itu diperuntukkan untuk infrastruktur yang baik dan pertanggungjawabannya jelas, saya rasa tidak masalah," ujar Tito, Kamis (14/11/2024). Ia menekankan bahwa yang menjadi masalah adalah ketika anggaran yang tersedia tidak dimanfaatkan dengan baik atau bahkan tidak digunakan sama sekali.
"Yang jadi masalah itu kalau pembangunan tak ada, dan anggaran malah menjadi silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran) yang tidak digunakan," tambahnya.
Menurut Tito, masyarakat lebih mengutamakan transparansi dan manfaat dari anggaran yang digunakan. Ia menegaskan bahwa, jika anggaran digunakan secara efisien untuk kepentingan yang besar, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta pembukaan lapangan kerja, maka hal itu akan lebih bermanfaat bagi masyarakat.
"Biarlah anggaran habis, asalkan dipergunakan untuk kepentingan besar, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pembukaan lapangan kerja," tegas Tito.
Lebih lanjut, Tito menyoroti perlunya audit terhadap penggunaan anggaran untuk memastikan tidak ada penyimpangan. Ia mengatakan bahwa jika terjadi defisit atau penyalahgunaan anggaran, maka proses audit yang transparan akan mengungkapkan hasilnya, serta mencegah terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
"Kalau ada defisit atau korupsi, biar diaudit dulu. Nanti akan kelihatan hasilnya," kata Tito, menutup pembicaraan.
Masyarakat Riau, menurut Tito, tentu berharap agar APBD 2025 yang tengah dibahas ini dapat memberikan manfaat nyata melalui proyek-proyek strategis yang dapat memperbaiki infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta menciptakan lapangan kerja baru yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, meskipun adanya potensi defisit, yang penting adalah bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan penggunaan anggaran untuk program yang dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Pemerintah diharapkan terus mengutamakan akuntabilitas dan transparansi dalam setiap tahapan pengelolaan anggaran untuk membangun kepercayaan masyarakat.