Kasus Tambak Udang Bengkalis Mandek, Kejati Riau Tegaskan Bukti Korupsi Masih Lemah

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:33:00 WIB

EKANBARU (CHALOBISNIS) – Penanganan perkara dugaan korupsi pengelolaan tambak udang di kawasan hutan bakau Bengkalis tahun 2020-2024 bak hilang ditelan bumi.

Sejak kasus tersebut ditangani tim Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkalis sejak Oktober 2024 lalu, perkembangan penyelidikan tidak diketahui lagi.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau Sutikno mengatakan, kasus tersebut masih dalam tahap pengkajian mendalam. Hingga kini, penyidik menilai masih terdapat persoalan mendasar terkait penentuan instrumen hukum yang paling tepat untuk digunakan.

Sutikno menjelaskan, kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambak udang tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Menurutnya, diperlukan kejelasan terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut masuk sebagai pelanggaran undang-undang sektoral.

Ia mencontohkan, apakah melanggar Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, atau justru memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Kerusakan lingkungan akibat tambak udang itu menurut pemahaman saya sampai hari ini masih menjadi problem. Apakah itu masuk undang-undang sektoral yang penanganannya melalui penyidik PPNS atau kepolisian, ataukah menjadi laporan tindak pidana korupsi,” ujar Sutikno, Selasa (9/12/2025).

Sutikno mengakui adanya dorongan kuat dari masyarakat agar perkara tersebut diproses sebagai kasus korupsi. Namun, ia menegaskan bahwa penegakan hukum tidak dapat ditempuh hanya berdasarkan tekanan opini publik tanpa dukungan data dan fakta yang sesuai ketentuan perundang-undangan.

Sebagai perbandingan, Sutikno menyinggung perkara besar tata niaga timah di Bangka Belitung yang menimbulkan kerugian negara sangat besar. Dalam kasus tersebut, unsur korupsi dinilai jelas karena adanya praktik suap pada persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), pembiaran pengawasan pertambangan, hingga penyalahgunaan smelter.

“Perkara timah itu jelas korupsinya karena ada tata kelola suap, suap agar tidak dilakukan pengawasan, hingga penggunaan smelter pihak lain padahal sudah memiliki smelter sendiri,” jelas Sutikno.

Berbeda dengan perkara tambak udang di Bengkalis, Sutikno menyebut hingga kini belum ditemukan data pendukung yang mengarah pada adanya tindak suap maupun gratifikasi.

“Untuk tambak udang di Bengkalis, tanda kutipnya masih seperti itu. Perlu data dukungan, apakah ada suap yang terjadi di dalamnya. Kalau tidak ada, tipis-tipis sekali (dijerat dengan Undang-Undang Tipikor),” pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Bengkalis, Wahyu Ibrahim, menyampaikan bahwa penyidikan perkara tersebut telah memasuki tahap penghitungan kerugian negara. Namun, belum terbitnya hasil audit Perhitungan Kerugian Negara (PKN) menjadi alasan belum ditetapkannya tersangka.

Penyidikan yang berlangsung sejak Oktober 2024 itu telah melibatkan sejumlah saksi, pemeriksaan lapangan di beberapa lokasi tambak udang, serta pendampingan ahli kehutanan dan ahli lingkungan. 

Tim Penyidik Pidsus Kejari Bengkalis juga telah berkoordinasi dengan BPKP Perwakilan Riau untuk pelaksanaan audit, namun hingga kini hasilnya belum diterima. “Belum keluar (hasil audit),” ujar Wahyu Ibrahim beberapa waktu lalu.

Meski penyidikan nyaris berjalan satu tahun, proses penetapan tersangka belum dapat dilakukan. Kendati begitu, penyidik menduga potensi kerugian negara dalam perkara tersebut bisa mencapai puluhan miliar rupiah.

“Posisinya memang seperti itu, belum. (Penyidik) masih menunggu (hasil audit),” kata Wahyu.

Ia meyakini, setelah hasil audit diterima, penyidik akan segera menggelar gelar perkara untuk menetapkan pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab.

“Setelah resmi keluar, akan ditetapkan pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab dalam perkara itu sebagai tersangka,” tegasnya.

Dari hasil pemeriksaan lapangan, penyidik menemukan dugaan bahwa pelaku usaha menebang hutan bakau di kawasan pesisir dan mengoperasikan tambak udang tanpa izin resmi. Selain itu, pengelolaan limbah tambak diduga tidak memenuhi standar lingkungan, sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis.

Kerusakan tersebut dinilai dapat menurunkan kualitas air laut, mengganggu kehidupan biota, merusak habitat alami, serta berdampak pada perekonomian masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut.*

Terkini