Pecat 1.800 Pekerja Saat Pandemi Covid-19, Maskapai Qantas Didenda Rp 1,45 T

Selasa, 19 Agustus 2025 | 07:01:00 WIB

(HALOBISNIS) – Maskapai penerbangan asal Australia, Qantas, dijatuhi hukuman denda sebesar US$ 90 juta atau sekitar Rp 1,45 triliun karena melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara ilegal terhadap lebih dari 1.800 karyawan selama masa pandemi.

Putusan dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Federal Michael Lee, yang memberikan teguran keras terhadap Qantas atas tindakan tersebut, sekaligus mengkritik sejumlah eksekutif senior perusahaan, termasuk mantan CEO Alan Joyce dan CEO saat ini, Vanessa Hudson.

Dalam keputusannya, US$ 50 juta diperintahkan untuk dibayarkan kepada Serikat Pekerja Transportasi (TWU), sementara US$ 40 juta dialokasikan bagi pekerja yang terdampak, meskipun penyalurannya akan dilakukan pada waktu mendatang.

Menteri Hubungan Ketenagakerjaan Amanda Rishworth menolak memberikan komentar mengenai kegagalan Ombudsman Fair Work menyelidiki kasus ini, maupun terkait bagaimana dana sebesar US$ 50 juta yang diberikan kepada TWU seharusnya dikelola dan didistribusikan.

Kasus ini bermula pada tahun 2020, saat pandemi memicu lockdown besar-besaran. Qantas mengumumkan kebijakan alih daya layanan penanganan darat di 10 bandara di Australia, yang menyebabkan lebih dari 1.800 pekerja kehilangan pekerjaan.

Hakim mengakui bahwa Qantas memang menunjukkan penyesalan atas keputusan alih daya tersebut, namun menilai penyesalan itu tidak cukup dalam atau tulus.

"Meskipun keputusan alih daya merupakan tindakan tunggal, tindakan tersebut direncanakan dengan cermat. Tindakan tersebut ditujukan kepada dan memengaruhi sejumlah besar karyawan," ujar Lee, dikutip dari Reuters.

Ia juga menyoroti tanggung jawab Alan Joyce sebagai pemimpin perusahaan saat kebijakan itu dibuat, serta tanggung jawab Vanessa Hudson, yang kala itu menjabat sebagai direktur keuangan dan kini menjadi CEO.

Kasus hukum ini diperkirakan menimbulkan kerugian sebesar US$ 240 juta bagi Qantas, atau sekitar 19% dari laba setelah pajak tahun 2024 yang mencapai US$ 1,25 miliar. Sebelumnya, perusahaan disebut menghemat sekitar US$ 125 juta sebagai dampak dari pengalihan layanan tersebut.

Dalam sebuah pernyataan publik, CEO Vanessa Hudson menyampaikan permintaan maaf. “Perusahaan dengan tulus meminta maaf kepada setiap dari 1.820 pekerja penanganan darat dan keluarga mereka,” ucap dia.

Terkini