(HALOBISNIS) - Ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran berpotensi menjadi katalis serius bagi lonjakan harga minyak dunia.
Kampanye militer Israel yang berlangsung lebih dari sepekan ke wilayah Iran memicu kekhawatiran pasar, meskipun reaksi harga masih terbilang moderat.
Melansir CNBC International, Sabtu (21/6/2025),hHarga minyak mentah Brent sempat naik sekitar 10% menjadi US$ 79,50 per barel per Jumat (20/6/2026), sementara WTI diperdagangkan di kisaran US$ 75,80 per barel.
Meski belum menembus level psikologis US$ 80, para analis memperingatkan potensi eskalasi harga bisa jauh lebih besar jika konflik mengganggu pasokan.
“Jika Iran membalas dengan menyerang kapal tanker atau menutup Selat Hormuz, harga bisa melonjak di atas US$ 100 per barel,” kata pendiri Rapidan Energy Group dan mantan penasihat energi Gedung Putih Bob McNally.
Sekitar 20% dari total pasokan minyak global melintasi Selat Hormuz. Jika alur ini terganggu, akan menimbulkan guncangan suplai besar, serupa dengan krisis energi tahun 1979 saat Revolusi Iran. Ketika itu, harga minyak dunia naik hampir tiga kali lipat, memicu resesi global.
JPMorgan dalam laporan terbarunya menyebutkan, rata-rata lonjakan harga minyak setelah pergantian rezim di negara produsen utama sejak 1979 mencapai 76%, sebelum stabil di level 30% lebih tinggi dari harga sebelum konflik.
Analis RBC Capital Markets menyebut pasar masih tenang. Namun, jika serangan menyasar infrastruktur energi, atau AS ikut terlibat, lonjakan harga minyak bisa lebih agresif dan bertahan lama.