PEKANBARU - Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan The Prakarsa menilai langkah pemerintah untuk meningkatkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12 persen akan semakin memberatkan kelas menengah dan kecil.
“Kebijakan untuk terus melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12 persen di tengah menurunnya daya beli masyarakat ini rasanya tidak tepat. Deflasi yang tidak terkendali dapat menciptakan lingkaran deflasi saat konsumsi menurun, pertumbuhan melemah, dan tekanan harga semakin besar, kenaikan PPN hanya akan memperparah kondisi ini,” ujar Peneliti The Prakarsa Samira Hanim dalam keterangan resmi yang diterima pada Selasa (26/11/2024).
Menurut dia, pajak tidak hanya berperan sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga alat redistribusi kekayaan, pemerintah perlu meningkatkan pajak progresif yang menargetkan individu super kaya atau ultra high net worth individuals (UHNWI).
Langkah ini sejalan dengan komitmen negara-negara G-20 untuk memastikan UHNWI membayar pajak secara adil dan efektif, sebagaimana tertuang dalam G-20 Rio de Janeiro Leaders’ Declaration.
“Kenaikan PPN 12 persen ini justru menyalahi asas keadilan pajak itu sendiri. Pengenaan PPN yang bersifat objektif, tidak memandang siapa yang dikenakan justru menyalahi asas keadilan tersebut. Orang kaya akan mengeluarkan nominal pajak yang sama dengan orang miskin ketika dihadapkan pada pembelian suatu barang dan jasa kena pajak.” kata Samir.
Di Indonesia, jumlah UHNWI terus meningkat dan mereka malah mendapatkan banyak keringanan pajak. The Wealth Report 2024 memproyeksikan pertumbuhan sebesar 34,1%, dari 1.479 individu pada 2023 menjadi 1.984 individu pada 2028.
Tren ini diperkuat oleh struktur pajak yang lebih menguntungkan pendapatan dari modal seperti keuntungan modal (capital gains) dan dividen, yang umumnya dikenakan tarif pajak lebih rendah dibandingkan penghasilan kerja.
Di Indonesia, pendapatan kerja (income) atau PPh (pajak penghasilan) dikenakan pajak progresif hingga 35 persen , sedangkan pendapatan pasif seperti dividen atau keuntungan modal hanya dikenakan tarif hingga 25 persen.
Selain tarif pajak yang lebih rendah atas pendapatan pasif yang mendominasi kekayaan individu super kaya, mereka juga memanfaatkan strategi penghindaran pajak seperti menunda realisasi keuntungan modal, tidak membagikan dividen, atau menggunakan perusahaan holding untuk mengalihkan keuntungan.
Implikasinya, orang super kaya membayar pajak dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan masyarakat berpenghasilan menengah dan bawah yang mengandalkan pendapatan aktif yang terus tergerus baik dari PPN maupun PPh.
Peneliti The Prakarsa Farhan Medio mengatakan kebijakan kenaikan tarif PPN bersifat regresif. Kanaikan pajak ini membuat kelompok termiskin harus menanggung dampak yang lebih signifikan dibandingkan kelompok kaya. Kebijakan ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi.
Riset The Prakarsa mengestimasi terdapat potensi tambahan penerimaan negara sebesar Rp 78,5 triliun-Rp 155,3 triliun apabila diberlakukan pajak kekayaan pada individu dengan kekayaan bersih lebih dari US$ 10 juta (Rp 155 miliar) dengan tarif progresif 1 persen-4 persen.
Pajak kekayaan dapat memastikan prinsip keadilan bahwa tingkat pajak efektif orang kaya tidak lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya, sekaligus mendukung fungsi redistribusi ekonomi. Dengan melengkapi langkah ini melalui pengetatan aturan penghindaran pajak dan penegakan hukum yang kuat, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif, adil, dan inklusif.
“Pengenalan pajak kekayaan (wealth tax) menjadi langkah penting untuk menyeimbangkan beban pajak,” tutur dia terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen.