JAKARTA - Istilah Investor Zombie atau VC Zombie muncul di tengah kondisi ekonomi yang tak stabil. Sebutan ini merujuk ke kondisi modal ventura (Venture Capital/VC) yang dana pengelolaannya kian tipis.
Status VC seperti itu ibarat 'hidup segan mati tak mau'. Beberapa pengamat memprediksi fenomena ini bakal meningkat hingga 50% dalam beberapa tahun ke depan.
"Kami memprediksi ada peningkatan jumlah VC zombie; VC yang masih ada karena perlu mengelola investasi yang mereka lakukan dari dana sebelumnya tetapi tidak mampu mengumpulkan dana berikutnya," kata Maelle Gavet, CEO jaringan pengusaha global Techstars, dilansir dari CNBC.com, Sabtu (24/2/2023).
Lantas, mengapa fenomena ini bisa terjadi? Diketahui, VC mengambil dana dari institusi pendukung dana yang dikenal sebagai Limited Partner (LP).
Selanjutnya, dana itu diserahkan ke perusahaan rintisan (startup) dengan imbalan ekuitas. LP ini biasanya berupa institusi dana pensiun, dana abadi, dan kantor keluarga.
Dalam rencana ideal, startup akan berhasil go public (IPO) atau diakuisisi. Lalu VC akan mendapatkan kembali dananya atau, lebih baik lagi, menghasilkan keuntungan dari investasi mereka.
Namun, di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, LP cenderung lebih 'pilih-pilih' dalam menggelontorkan dana mereka.
Perekonomian global memang sedang tertekan dalam sektor teknologi. Baru-baru ini, saham teknologi tersandung di tengah sentimen investor seiring bursa saham AS Nasdaq turun hampir 26% dari puncaknya pada November 2021.
Selain itu, jatuhnya angka layanan pembayaran online seperti Pay Later hingga 40%, serta kebangkrutan investor kripto semacam FTX menjadi akar permasalahan ini.
"LP mundur setelah terekspos berlebihan di pasar swasta, menyisakan lebih sedikit modal untuk digunakan di sejumlah besar perusahaan VC yang dimulai selama beberapa tahun terakhir," kata pendiri perusahaan VC Activant Capital, Steve Saraccino.
VC Zombie Masih Sembunyi
Saat ini, ada kecenderungan VC zombie untuk menutup rapat-rapat keterpurukannya. Menurut dosen Carnegie Mellon University, Frank Demmler, butuh waktu 3 hingga 4 tahun sebelum perusahaan VC yang 'sakit' terang-terangan soal kondisinya.
"Perilakunya tidak akan terlihat jelas, tetapi tanda-tandanya adalah mereka belum melakukan investasi besar selama 3 atau 4 tahun terakhir, mereka belum mengumpulkan dana baru." kata Demmler.
"Mereka kemudian ada dalam situasi saat kemampuan mereka untuk mengembalikan modal yang diinginkan LP mendekati nol. Saat itulah fenomena zombie benar-benar terjadi," ia menambahkan.
Namun, kemunduran VC tidak akan terlihat seperti kegagalan industri teknologi (tech bubble burst) yang baru-baru ini terjadi juga di Indonesia. Perusahaan modal ventura tidak akan melakukan PHK kepada staf mereka secara berbondong-bondong.
Sebaliknya, mereka akan kehilangan staf dari waktu ke waktu melalui pengurangan. Mereka juga akan menghindari pendanaan pada startup baru hingga akhirnya tutup.***