Efek Samping Langka Vaksin Astra Zeneca, dari Pembekuan Darah hingga Kematian

Sabtu, 04 Mei 2024 | 16:19:31 WIB

Pekanbaru - Raksasa farmasi Inggris AstraZeneca telah mengakui dalam dokumen pengadilan bahwa vaksin Covid-19 buatannya dapat menyebabkan efek samping langka yang dikenal sebagai Sindrom Trombosis dengan Trombositopenia (TTS).

Dokumen pengadilan menyatakan bahwa kondisi ini dalam kasus yang jarang terjadi, mungkin disebabkan oleh vaksin Covishield. Covishield dikembangkan oleh AstraZeneca dan Universitas Oxford serta diproduksi oleh Serum Institute of India. Covishield diberikan secara luas kepada orang India selama gelombang Covid-19.

Dilansir The Economic Times, Sabtu (4/5/2024), TTS mengacu pada penggumpalan di pembuluh darah, dan terjadi dalam kasus yang sangat jarang terjadi, setelah penggunaan jenis vaksin tertentu, menurut pakar medis Dr Rajeev Jayadevan yang dikutip ANI.

“TTS adalah trombosis dengan sindrom trombositopenia, yang pada dasarnya berupa gumpalan di pembuluh darah otak atau di tempat lain, bersamaan dengan jumlah trombosit yang rendah. Hal ini diketahui terjadi dalam kasus yang sangat jarang terjadi setelah vaksin tertentu dan juga karena penyebab lain. Menurut WHO, khususnya vaksin vektor adenovirus jarang dikaitkan dengan kondisi ini,” kata Dr Jayadevan kepada ANI. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menandai kondisi ini sebagai kondisi yang langka namun serius dan mengancam jiwa.

Orang yang mengalami TTS merasakan gejala. Selai mudah memar atau bercak darah kecil di bawah kulit di luar tempat suntikan, gejalanya mungkin termasuk sakit kepala yang parah atau terus-menerus, penglihatan kabur, sesak napas, nyeri dada, kaki bengkak, dan sakit perut yang terus-menerus.

Kasus-kasus yang berkaitan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca
AstraZeneca telah terlibat dalam gugatan class action untuk vaksin Covid-19 buatannya. Perusahaan farmasi itu mengakui bahwa vaksin tersebut menyebabkan insiden TTS. Sebanyak 51 kasus telah diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh korban dan keluarga mereka, dengan The Telegraph melaporkan bahwa penggugat meminta kompensasi senilai sekitar 100 juta poundsterling atau sekitar Rp 2.011.974.759.000

Vaksin ini dijual dengan merek Covishiled dan Vaxzevria ini sebelumnya dikaitkan dengan risiko pembekuan darah. Pada April 2021, komite keamanan Badan Obat Eropa (EMA) melaporkan bahwa suntikan vaksin dikaitkan dengan pembekuan darah di otak, perut, dan arteri serta trombositopenia.

Pada saat itu, EMA dan Badan Pengatur Produk Obat dan Kesehatan Inggris Raya (MHRA) menyatakan bahwa manfaat vaksin lebih besar daripada potensi risikonya dan mendorong masyarakat untuk mendapatkan vaksinasi.

Dalam siaran persnya pada bulan November 2021, AstraZeneca melaporkan bahwa dua miliar dosis vaksinnya telah dipasok ke negara-negara di seluruh dunia kurang dari 12 bulan setelah persetujuan pertama. Raksasa farmasi ini juga memperoleh keuntungan dari vaksin Covid-19 untuk pertama kalinya pada tahun 2022 dan melaporkan bahwa mereka telah mengirimkan sekitar 102 juta dosis vaksinnya melalui COVAX pada Q4 2022.

Menurut The Telegraph, dilansir Pharmaceutical Technology, kasus pertama yang diajukan pada 2023 ketika seorang pasien melaporkan bahwa vaksinasi menyebabkan dia mengalami cedera otak permanen yang disebabkan oleh bekuan darah dan pendarahan di otak.

Kematian Seorang Pasien

 

Berdasarkan laporan koroner 29 April dari UK Courts and Tribunals Judiciary, kematian seorang pasien berusia 28 tahun adalah kasus terbaru yang mengaitkan efek samping pembekuan darah dengan vaksin AstraZeneca. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa pasien tersebut meninggal yang karena trombosis sinus vena serebral dan trombositopenia trombotik imun yang diinduksi vaksin Covid-19.

Ini bukan pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir AstraZeneca dihadapkan pada tuntutan hukum. Pada Oktober 2023, perusahaan membayar 425 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk menyelesaikan tuntutan hukum yang mengklaim obat Nexium (esomeprazole) dan Prilosec (omeprazole), menyebabkan penyakit ginjal kronis.

 

Kilas balik vaksin AstraZeneca

Pada akhir 2019, sebuah penyakit pernafasan baru muncul di Wuhan, ibu kota provinsi Hubei di China tengah, dan pada awal Januari 2020 telah menyebar ke luar China. Ahli Virologi Shanghai, Profesor Zhang Yongzhen, pertama kali memecahkan kode struktur genetik virus dan mempublikasikan hasilnya di internet.

Dilansir The Guardian, Profesor Vaksinologi di Universitas Oxford, Profesor Sarah Gilbert dan rekan-rekannya segera mulai mengerjakan vaksin menggunakan data Zhang. Namun, dengan cepat menjadi jelas bahwa wabah baru ini akan menjadi sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang diperkirakan oleh kasus-kasus awal dan diperlukan uji coba vaksin yang lebih besar. Jadi Gilbert meminta nasihat dari dokter anak dan ahli dalam menjalankan uji coba vaksin skala besar Profesor Andy Pollard.

Untuk membuat vaksinnya, Tim Oxford mengambil virus flu biasa yang menginfeksi para simpanse dan merekayasanya agar tidak memicu infeksi pada manusia. Kemudian mereka memodifikasinya lebih lanjutan sehingga memuat cetak biru genetik dari potongan-potongan corona. Ini akan dibawa ke dalam sel-sel di dalam tubuh, yang kemudian akan mulai membuat potongan-potongan virus corona untuk melatih sistem kekebalan tubuh agar bisa menyerangnya.

Berbekal teknologi ini, para ilmuwan Oxford, yang kemudian didukung oleh raksasa farmasi AstraZeneca, kemudian mampu memproduksi vaksin mereka dan mulai melakukan pengujian.

Tim Oxford akhirnya mengumpulkan data dari uji coba Fase 3 dan menyajikannya kepada regulator Inggris Raya (UK), yang pada Desember 2020 memberikan persetujuan akhir dan penuh untuk vaksin mereka. Pada 4 Januari 2021, dosis pertama vaksin ini diluncurkan di UK.**

Terkini