Energi Ibu Energi Negara: Ketika Gas Bumi Mengalir Hingga ke Dapur Rumah dan Harapan Bangsa

Senin, 22 Desember 2025 | 11:40:00 WIB

Oleh : Charly Simanullang
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Fakultas Eknomi dan Manajemen Bisnis Universitas Riau

DALAM setiap rumah di Indonesia, dapur bukan sekadar ruang untuk menyiapkan makanan, melainkan tempat di mana cinta, manajemen, dan keputusan ekonomi berpadu dalam keseharian keluarga. Di balik nyala api kompor yang hangat, sesungguhnya tersimpan kisah besar tentang bagaimana bangsa ini belajar mengelola sumber daya energi dengan bijak. Dan di jantung kisah itu, berdirilah sosok ibu pengelola energi yang paling efisien, paling rasional, sekaligus paling emosional dalam menjalankan fungsinya.

Dalam setiap denyut kehidupan bangsa, energi selalu hadir sebagai darah yang mengalirkan peradaban. Namun, ada satu energi yang lebih mendalam, lebih halus, dan sering kali tak terucapkan  yakni energi kasih seorang ibu. Di tangan ibu, api bukan sekadar sumber panas, melainkan sumber kehidupan; tempat nasi ditanak, sayur dihangatkan, dan cinta dihidangkan. Karena itu, ketika negara menghadirkan jaringan gas bumi hingga ke rumah-rumah rakyat, sesungguhnya negara sedang mengalirkan bukan hanya energi fosil, tetapi juga energi kemanusiaan  yang paling dirasakan manfaatnya oleh para ibu di seluruh pelosok Nusantara.

Program jaringan gas bumi untuk rumah tangga (jargas), yang kini menjadi bagian dari Program Strategis Nasional pemerintah, menghadirkan peluang baru bagi keluarga Indonesia untuk menikmati energi yang bersih, efisien, dan aman.

Melalui program ini, gas bumi yang selama ini didistribusikan untuk industri kini dialirkan langsung ke rumah-rumah tangga melalui jaringan pipa. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga 2024 mencatat hampir satu juta sambungan rumah telah menikmati manfaat jargas di lebih dari 70 kota dan kabupaten, dan pemerintah menargetkan dua juta sambungan rumah tangga pada 2027 sebagai bagian dari strategi besar transisi energi nasional menuju net zero emission pada 2050.

Namun, transisi energi tidak hanya bergantung pada infrastruktur dan teknologi, melainkan juga pada perilaku pengguna di tingkat rumah tangga, dan di sinilah peran ibu menjadi sangat sentral.
Dalam keseharian, ibu adalah pengambil keputusan utama dalam konsumsi energi rumah tangga: memilih kompor, mengatur anggaran, memastikan keamanan, dan menanamkan kebiasaan hemat energi bagi seluruh anggota keluarga.

Keberhasilan jargas tidak hanya ditentukan oleh panjang pipa yang terpasang, tetapi juga oleh sejauh mana para ibu memahami dan menginternalisasi nilai efisiensi serta keberlanjutan energi dalam kesehariannya. Setiap penggunaan LPG yang berkurang karena beralih ke jargas sejatinya mengurangi beban subsidi negara dan memperbaiki neraca energi nasional.

Setiap rumah tangga yang beralih ke gas bumi berarti mengurangi emisi karbon, meningkatkan keamanan, dan menurunkan ketergantungan terhadap impor energi. Dari sudut pandang manajemen strategis, para ibu adalah agen perubahan mikro yang memiliki dampak makro terhadap perekonomian nasional.

Kisah nyata dari Siak dan Pelalawan di Provinsi Riau menunjukkan hal ini dengan gamblang. Di balik kesunyian ladang akasia dan hamparan sawit di Siak, jaringan gas bumi yang dikelola PT Perusahaan Gas Negara (PGN) kini mengalir senyap namun pasti, membawa kemudahan bagi masyarakat. Ibu Susanti (58), warga Dusun Pinang Sebatang Timur, menuturkan.

“Banyak perbedaan sejak pakai jargas. Lebih murah, mudah, dan nyaman. Dulu saya habis tiga tabung gas sebulan, sekitar Rp75 ribu. Sekarang tagihan jargas hanya Rp54 ribu.”

Ia menambahkan bahwa kini tidak ada lagi ketakutan memasang regulator atau khawatir kebocoran. “Dengan jargas PGN, rasa takut itu hilang,” ujarnya lega.

Cerita sederhana ini menunjukkan bahwa rasa aman, efisiensi biaya, dan kemudahan adalah bentuk nyata nilai tambah publik yang dihasilkan oleh kebijakan energi yang berpihak pada rakyat.

Kisah lain datang dari Ibu Sugiem (63), pelaku usaha kecil di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Di dapurnya yang sederhana, kompor menyala bukan hanya untuk memasak, tetapi juga untuk menyalakan semangat hidup. Ia memproduksi telur asin, peyek, dan keripik pisang dengan penuh semangat.

“Sejak menggunakan Jargas PGN, saya merasa lebih enak dan semangat berusaha. Tidak bingung lagi mencari gas elpiji, tidak takut kebocoran. Produksi lebih banyak, hasil lebih bagus,” katanya dengan senyum lebar.

Sebelumnya, ia sering kali menunda menggoreng adonan karena gas habis di tengah malam. Kini, ia bisa berproduksi lebih cepat dan konsisten. Dalam kisahnya, energi bersih menjadi penggerak produktivitas perempuan dan ekonomi rumah tangga.

Di Dusun Pinang Sebatang Timur, Ibu Waemun, ketua RT setempat, menuturkan bagaimana antusiasme warganya terhadap program ini begitu tinggi. “Gratis semua. Kami tinggal terima bersih. Dulu kalau gas habis malam-malam, susah mencarinya. Sekarang tidak lagi. Bahkan kompor pun disediakan. Teknisi PGN sudah kami anggap seperti saudara,” ujarnya.

Ucapannya menunjukkan bahwa negara hadir bukan hanya sebagai penyedia layanan, tetapi juga sebagai pelindung keseharian rakyat.
Dari ketiga kisah ibu-ibu itu, kita belajar tentang sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar konversi energi: transformasi sosial. Program gas bumi rumah tangga bukan hanya mengalihkan sumber energi dari LPG ke gas pipa, tetapi juga mengubah cara ibu-ibu menjalani kehidupan. Waktu yang dulu habis mencari gas kini menjadi waktu bersama keluarga.

Uang yang dulu tersedot untuk membeli elpiji kini dapat digunakan untuk pendidikan anak. Energi bersih telah memberi napas baru pada ekonomi rumah tangga unit terkecil dari perekonomian nasional.

Dari perspektif manajemen pembangunan, inilah esensi dari energi berkeadilan  ketika kebijakan strategis nasional benar-benar menyentuh sendi kehidupan rakyat. PGN sebagai BUMN energi telah menunjukkan peran transformatifnya dengan mengimplementasikan prinsip “customer intimacy” dan “social value creation”, di mana inovasi tidak berhenti pada teknologi, tetapi juga menyentuh dimensi sosial, terutama pemberdayaan perempuan.

Kampanye “Gas Bumi Ceria: Ibu Hebat, Anak Kreatif” adalah contoh nyata bagaimana energi menjadi medium pendidikan, ekonomi, dan solidaritas sosial.

Ke depan, transisi energi di Indonesia menuju energi bersih tidak boleh melupakan dimensi sosial seperti ini. Ibu ibu di dapur adalah simbol pengguna akhir energi, tetapi juga agen perubahan dalam keluarga dan komunitas.

Ketika mereka beralih ke energi bersih, mereka sedang mempraktikkan gaya hidup berkelanjutan. Dan ketika jutaan ibu di seluruh Indonesia melakukan hal yang sama, sesungguhnya bangsa ini sedang menapaki jalan menuju kedaulatan energi nasional  bukan dengan jargon besar, tetapi dengan nyala api kecil di kompor setiap rumah.

Karena itu, pada peringatan Hari Ibu tahun ini, kita perlu memberi penghormatan bukan hanya pada kasih seorang ibu, tetapi juga pada keberanian mereka dalam beradaptasi dengan perubahan. Ibu-ibu di Siak dan Pelalawan telah membuktikan bahwa mereka bukan sekadar penerima manfaat, melainkan bagian dari kekuatan yang mempercepat keberhasilan program strategis negara.

Di tangan mereka, energi tidak lagi hanya menjadi sumber panas, tetapi sumber harapan.
Dan di antara desir gas bumi yang mengalir tenang di pipa-pipa bawah tanah itu, sesungguhnya mengalir pula satu pesan yang lembut namun tegasbahwa energi sejati bangsa ini lahir dari cinta seorang ibu  yang terus menyalakan api kehidupan, bahkan dalam senyap.

Terkini