PEKANBARU (HALOBISNIS) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Dahri Iskandar, ajudan Gubernur Riau nonaktif, Abdul Wahid. Dahri dimintai keterangan sebagai saksi terkait dugaan korupsi dan pemerasan yang melibatkan Abdul Wahid.
"Hari ini, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan tindak pidana korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemprov Riau tahun 2025," kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Rabu (3/12/2025).
Selain Dahri, penyidik KPK juga memeriksa Kepala Bagian Protokol Setdaprov Riau, Raja Faisal Febnaldi, Kepala UPT Wilayah VI Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau Rio Andriadi Putra dan pihak swasta Angga Wahyu Pratama.
"Saksi DI ADC Gubernur Riau, RFF Kabag Protokok Setda Riau, RAP Kepala UPT PUPR-PKPP, AWP selaku pihak swasta. Pemeriksaan dilakukan di BPKP Provinsi Riau," kata Budi.
Informasi dihimpun, Dahri menjadi ajudan Abdul Wahid sejak menjabat sebagai anggota DPRD RI. Namun, dikabarkan Dahri telah berhenti menjadi ajudan sebelum KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Abdul Wahid.
Diberitakan sebelumnya, tim KPK melakukan OTT di Pekanbaru pada Senin (3/11/2025). Sebanyak 10 orang diamankan, yakni Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda, Tenaga Ahli Gubri Tata Maulana dan Dani M Nursalam, serta sejumlah Kepala UPT di Dinas PUPR-PKPP Riau.
Mereka kemudian dibawa ke Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, Selasa (4/11/2025). Setelah pemeriksaan intensif, penyidik menetapkan tiga orang tersangka, yakni Abdul Wahid, Muhammad Arief Setiawan, dan Dani M Nursalam.
Tersangka diduga meminta fee atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR-PKPP Riau yang semula Rp71,6 miliar menjadi 177,4 miliar. Terjadi kenaikan Rp106 miliar.
Awalnya fee yang diminta sebesar 2,5 persen. Namun oleh Muhammad Arief Setiawan, fee tersebut dinaikkan menjadi 5 persen atau sebesar Rp7 miliar.
Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah 'jatah preman'.
Seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR-PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau melakukan pertemuan dan menyepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 5 persen atau Rp7 miliar.
Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Muhammad Arief Setiawan dengan menggunakan bahasa kode "7 batang".
Atas perbuatannya, Abdul Wahid, Muhammad Arief Setiawan, dan Dani M Nursalam disangkakan melanggar Pasal 12e, Pasal 12f, dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.*