PEKANBARU (HALOBISNIS) - Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat benar-benar tercapai, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau meminta Pemerintah Provinsi Riau agar menerapkan tata kelola anggaran yang lebih transparan, akuntabel dan berbasis kinerja.
Hal itu perlu dilakukan mengingat turunnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau tahun 2026 yang telah disahkan sebesar Rp 8,321 triliun, akibat adanya pengurangan Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat, sehingga menyebabkan defisit hingga Rp1,2 triliun.
Fitra menilai, APBD 2026 masih berat pada belanja operasional dan minim investasi publik. Dari total belanja daerah sebesar Rp8,321 triliun, komposisi belanja operasional mencapai Rp6,220 triliun, jauh lebih besar dibanding belanja modal yang hanya Rp691,9 miliar.
Fitra Riau menyebut, pola belanja seperti ini menunjukkan ruang fiskal yang sempit untuk investasi publik jangka panjang. Sementara pemerintah provinsi masih menghadapi tantangan dalam menyediakan layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi daerah.
"Dominasi belanja operasional membuat APBD Riau kurang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis investasi publik. Ketika defisit terjadi, yang sering terkorbankan adalah belanja modal yang justru memiliki dampak jangka panjang bagi masyarakat," ujar Gusmansyah, Deputi Koordinator Fitra Riau, Sabtu (6/12/2026).
Selain itu, Fitra Riau menilai bahwa pendapatan daerah bergantung pada sektor yang rentan. Berdasarkan APBD Riau 2026, pendapatan asli daerah (PAD) Riau ditargetkan Rp5,279 triliun, dengan sumber utama dari pajak daerah yang mencapai Rp4,033 triliun.
Fitra Riau menilai struktur pendapatan ini masih rentan karena Riau sangat bergantung pada sektor sawit, perkebunan, dan migas sektor ini sangat bergantung terhadap harga global. Selain itu, belum optimalnya pemungutan pajak dan retribusi, serta maraknya potensi kebocoran pendapatan dan minimnya diversifikasi sektor ekonomi yang bisa menjadi basis PAD baru.
"Ketergantungan pada komoditas yang tidak stabil membuat PAD Riau rentan terguncang. Pemerintah harus memperbaiki administrasi pajak dan memperluas basis ekonomi agar pendapatan daerah lebih berkelanjutan," katanya.
Terkait dampak pemangkasan TKD, Fitra Riau meminta agar Pemerintah Provinsi Riau untuk dapat menyampaikan secara terbuka terkait dokumen lengkap perhitungan defisit APBD 2026 yang mencapai Rp1,2 triliun.
Kemudian membuka rencana penyesuaian belanja dan prioritas program yang dipertahankan, dampak defisit terhadap layanan publik, serta strategi resmi pemerintah untuk menutup kekurangan anggaran.
Defisit anggaran bukan sekadar isu teknis. Ini menyangkut hak publik atas layanan dasar. Pemerintah wajib membuka data dan menjelaskan bagaimana refocusing dan realokasi belanja dilakukan," tegasnya.
Terhadap kondisi APBD Riau tahun 2026 tersebut, Fitra Riau merekomendasikan agar penggunaan anggaran harus lebih akuntabel.
Memperketat penggunaan anggaran operasional, melalui audit efisiensi terhadap belanja pegawai, belanja rutin, perjalanan dinas, honorarium, dan pengadaan, serta menghentikan program yang tidak berorientasi hasil.
Pemerintah daerah harus memprioritaskan belanja modal produktif, disektor infrastruktur dasar, kesehatan, pendidikan, air bersih, dan penguatan ekonomi lokal harus menjadi fokus.
Kemudian meningkatkan transparansi anggaran, publikasikan data realisasi anggaran secara berkala, dan perkuat sistem e-budgeting dan e-planning yang dapat dipantau oleh masyarakat.
Terakhir, tantangan defisit APBD 2026 harus menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola anggaran dan meningkatkan kualitas pengeluaran pemerintah.
"Kami mendorong agar Pemprov Riau mewujudkan APBD yang transparan, akuntabel, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Defisit bukan alasan untuk mengorbankan layanan publik. Justru ini momentum untuk efisiensi, perbaikan tata kelola, dan inovasi pendapatan daerah," pungkasnya.